Pembahasan
Kata Wadi’ah berasal dari wada asy syai-a yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki untuk mengambilnya.
B. Landasan Hukum Wadi’ah
Wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Dalam wadi’ah ulama fiqih sepakat menggunakan akad dalam rangka tolong-menolong sesama insan, disyari’atkan dan dianjurkan dalam Islam. Di antara landasan hukum yang bersumber pada wadi’ah adalah sebagai berikut.
1. Al-quran
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa barang titipan harus dikembalikan kepada pemiliknya disaat pemilik harta titipan memintanya dan penerima titipan wajib mengembalikan amanat tersebut tepat waktu sesuai dengan kesepakan oleh keduanya. Penerima titipan juga wajib mengembalikannya secara jujur, artinya tidak menipu dan menyembunyikan rahasia dari pemilik titipan tersebut. Menurut para mufasir, ayat tersebut turun karena berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah (seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah.
2. Hadist
Yang artinya : “Tunaikanlah amanah seseorang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu menghianati orang yang menghianatimu”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' 5/381).
Berdasarkan hadist tersebut dapat disimpulkan Orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik dan mengandung nilai ibadah juga mendapat pahala, disamping mempunyai nilai sosial yang tinggi.
3. Ijma’
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (konsesus) terhadap legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh Az-Zuhayly dalam Fiqh al-Islam wa Adillatul dari Kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudamah dan mubsuth li imam sarakhsy.
Pada dasarnya penerima simpanan adalah yaddul amanah (tangan amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yangterjadi pada saat asset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yangbersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena factor-faktor dluar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh rasulullah dalam suatu hadist “jaminan penanggung jawaban tiak diminta dari peminjam yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titpan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut”.
4. Ketentuan Dewan Syariah Nasional
Dalam fatwa dewan syariah nasional diterapkan ketentuan tentang tabungan wadiah yaitu di atur dalam fatwa DSN No.02/DSN-MUI/N/2000, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bersifat simpanan.
2. Simpanan bias diambi kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
3. Tidak ada imbalan yang di isyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat suka rela dari pihak bank.
C. Tanggung Jawab Mudi’ (Penitip) Dan Wadi’ (Penerima Titipan) Dan Pelanggaran Amanat
Sebagai transaksi yang mengikat kedua belah pihak keduanya mempunyai tanggung jawab yang harus dilaksanakan juga berkaitan dengan pelanggaran terhadap hal-hal yang bertentangan dengan substansi akad wadiah. Tangung jawab mudi’ akan lebih dahuli dijelaskan karena pada dasarnya ia yang yang menyerahkan tanggung jawab kepada wadi’, oleh karena itu praktis menjaga titipan menjadi tangungan wadi’ (penerima titipan).
1. Tanggung jawab wadi’ (penitip)
Dalam syariat islam tanggung jawab mudi’ ada dua, yaitu :
1. Memberikan upah kepada mudi’ (penitip)
Pada dasarnya akad wadiah adalah akad tabarru’ (tidak ada timbal balik), tetapi meurut pendapatyang unggul, penerima titipan boleh menerima upah dari mudi’ atas jasanya menjaga titipan tersebutjika disyaratkan dalam akad dan tradisi setempat menuntut pemberian upah kepada wadi’.
Bahkan jika kedua belah pihak telah menyepakati upah dalam akad ini, maka menjadi wajib bagi mudi’untuk memberikan upah tersebut sebagai pemenuhan janji yang sudah disepakati. Baik kesepakatan itu jelas atau dhimni (tersirat) misalnya pekerjaan wad sebagai pekerja dalam sector jasa atau amanat besaryang membutuhkan tenaga dan baiya.
2. Memberikan biaya menjaga titipan
Jika penjagaan titipan tersebut membutuhkan biaya seperti pemeliharaa rumah, mobil dan lain sebagainya atau biaya administrasi seperti penitipan uang di bank, maka mudi’ tersebut yang menanggung biaya tersebut.
Bahkan wadi (penerima titipan) terpaksa harus mengeluarkan biaya penjagaan dari harta pribadinya, ia berhak menagih mudi (penitip) untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan tersebut, apabila pembiayaan tersebut atas seizin mudi’. Kecuali jika keperluan biaya tersebut disebabkan kecerobohan atau pelanggarang wadi’, misalnya ketka barang tersebut dibawa bepergian stsu bisys sdministrasi yang seharusnya tidak ada, maka mudi tidak wajib menggantinya, karena dalam hal ini wadi’ di kategorikan ghosib (yang merampas) dan ia wajib bertanggung jawab atas pelanggarannya.
2. Tanggung jawab mudi’ (penerima titipan)
Sesuai dengan karakteristik akad wadî’ah (titipan) yaitu tabarru’ (sumbangan), wadî’ (penerima titipan) berkewajiban untuk menjaga titipan tersebut sebagai substansi akad wadî’ah (titipan).
1. Batasan-batasan menjaga titipan
Standardnya disesuaikan dengan akad wadiah. Jika wadiah tdak disertai dengan upah, maka mudi’ wajib menjaga titipan teseburt sebagaimana hartanya sendiri. Oleh karena itu ia tidak menjamin kerusakan setiap barang titipan jika sudah menjaganya seperti halnya barang kepunyaannya.
Tetapi jika akad wadî’ah (titipan) disertai upah (al wadî’ah bi al ajr), maka wadî’(peerima titipan) wajib menjaga titipan sesuai dengan tradisi barang itu dijaga atau dalam ungkapan para ahli fikih fi hirz mitsliha (mengikuti tradisi sejenis barang itu dijaga) karena syara’ tidak menentukan batasan tertentu, maka dikembalikan kepada tradisi masyarakat setempat. Jika usaha wadî’(penerima titipan) dalam menjaga titipan tersebut lebih ringan dari usahanya dalam menjaga hartanya sendiri maka ia harus menjamin terhadap setiap kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada titipan tersebut.
Standar ini dianggap oleh para ahli fikih sebagai batasan yang jelas, walaupun jika dikaji lebih mendalam tidak setiap pemeliharaan yang ideal itu lebih baik dari pada penjagaan harta pribadi seseorang. Namun penulis memahami bahwa yang menjadi standar adalah al gholabah (keumuman) sebagai standar penjagaan sebuah titipan.
2. Pelanggarannya
a. Taqshir.
Bentuk-bentuk taqshir dari pihak wadî’ (penerima titipan) bermacam-macam, namun yang akan disebutkan di sini sebab-sebab yang berhubungan erat dengan muamalah kontemporer khususnya perbankan, begitu juga dengan penjelasannya disesuaikan dengan keterkaitan sebab tersebut dengan aktualitasnya.
b. Ta’addi.
Perbedaan antara taqshir dengan ta’addi, yang pertama kelalaian wadî’(penerima titipan) karena ia tidak mematuhi akad wadî’ah (titipan), sedangkan ta’addi adalah setiap prilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang tersebuut. Di antara bentuk taqshirtersebut menghilangkannya dengan sengaja. Maksudnya adalah ketika wadî’(penerima titipan) melakukan hal-hal yang menyebabkan titipan tersebut hilang atau rusak, maka ia harus menggantinya.
Aplikasi Wadi’ah Dalam Perbankan
Sesuai dengan pembagian wadi’ah di atas, maka wadi’ah yad al- amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang ditipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan.
Adapun wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah :
1. Bersifat simpanan,
2. Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase. Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini:
Daftar pustaka