BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Kepemilikan dalam Islam
"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu.
Konsep dasar kepemilikan dalam Islam adalah firman Allah swt ;
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi”. QS. Al-BAqarah: 284
Para fuqoha memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
B. Klasifikasi Kepemilikan dalam Ekonomi Islam
1. Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah/private property)
Kepemilikan pribadi adalah hukum shara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya–baik karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi–dari barang tersebut.
Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti jual-beli, gadai, sewa menyewa, hibah, wasiat, dll adalah meriupakan bukti pengakuan Islam terhadap adanya hak kepemilikan individual.
Karena kepemilikan merupakan izin al-shari’ untuk memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang diberikan oleh al-shari’ serta berasal dari sebab yang diperbolehkan al-shari’ untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dsb bukan minuman keras, babi, ganja dsb), sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.
Pembatasan Penggunaan Hak Milik Pribadi Dalam Islam :
Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan merupaka hal yang fitri, bahkan merupakan suatu keharusan. Hanya saja dalam mencari kekayaan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya, dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya. Sebab cara demikian itu akan menyebabkan gejolak dan kekacauan, bahkan kerusakan dan kenestapaan. Oleh karena itu, cara memperoleh kekayaan tersebut harus dibatasi dengan mekanisme tertentu, yang mencerminkan kesederhanaan yang dapat dijangkau oleh semua orang sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan fitrahnya, dimana kebutuhan primer mereka dapat dipenuhi,berikut kemungkinan mereka dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Dengan kata lain, kepemilikan harus ditentukan dengan mekanisme tertentu. Karena membatasi kepemilikan seseorang akan menyebabkan pelanggaran terhadap fitrah manusia.
Batasan kepemilikan ini nampak pada sebab-sebab kepemilikan yang telah disyariatkan, dimana dengan sebab-sebab tersebut hak milik seseorang bias diakui. Ketika islam membatasi suatu kepemilikan islam tidak membatasinya dengan cara perampasan, melainkan dengan menggunakan mekanisme yang sesuai dengan fitrah. Adapun pembatasan kepemilikan dengan menggunakan mekanisme tertentu itu Nampak pada beberapa hal berikut:
1. Dengan cara membatasi kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan hak milik, bukan dengan merampas harta kekayaan yang telah menjadi hak milik.
2. Dengan cara menentukan mekanisme mengelolanya.
3. Dengan cara menyerahkan kharafiyah sebagai milik Negara, bukan sebagai individu. Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu.
4. Dengan cara mensuplai orang yang memiliki keterbatasan factor produksi, sehingga bias memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
2. Kepemilikan Umum / Public Property
Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan suatu barang atau harta. Benda-benda yang termasuk kedalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Asy-Syari’ memang diperuntukan untuk suatu komunitas masyarakat. Benda-benda yang termasuk kedalam kepemilkan umum sebagai berikut:
§ Merupakan fasilitas umum, kalau tidak ada didalam suatu negri atau suatu komunitas maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
§ Barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya.
§ Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Rasulullah telah menjelaskan akan ketentuan benda-benda yang termasuk ke dalam kepemilikan umum. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah bersabda :
“Kaum Muslimin bersekutu dalam tiga hal : air, padang dan api “. (HR. Abu Dawud)
Anas meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas tersebut dengan menambahkan : wa samanuhu haram (dan harganya haram ). Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda :
“Ada tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun): air, padang dan api “. (HR.Ibnu Majah)
Mengenai barang tambang, dapat diklasifikasikan ke dalam dua: (1) Barang tambang yang terbatas jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu. (2) Barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Barang tambang yang terbats jumlah dapat dimiliki secara pribadi. Adapun barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan, adalah termasuk milik umum, dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Abyadh bin hamal: “Sesungguhnya ia pernah meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola tambang garamnya. Lalu beliau memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang dari majlis tersebut bertanya, “wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air yang mengalir.” Rasululllah kemudian bersabda, “kalau begitu, cabut kembali tambang itu darinya.” (HR. At Tirmidzi)
3. Kepemilikan Negara / State Property
Kepemilikan Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim, sementara pengelolaannya menjadi wewenang Negara. Asy Syari’ telah menentukan harta-harta sebagai milik Negara; Negara berhak mengelolanya sesuai denga pandangan dan ijtihad. Yang termasuk harta Negara adalah fai, Kharaj, Jizyah dan sebagainya. Sebab syariat tidak pernah menentukan sasaran dari harta yang dikelola. Perbedaan harta kepemilikan umum dan Negara adalah, harta kepemilikan umum pada dasarnya tidak dapat di berikan Negara kepada individu. Sedang harta kepemilikan Negara dapat di berikan kepada individu sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.
C. Sebab-Sebab Kepemilikan Dalam Islam
Kepemilikan yang sah menurut islam adalah kepemilikan yang terlahir dari proses yang disahkan syari’ah. Kepemilikan menurut pandangan Fiqh islam terjadi karena menjaga hak umum, transaksi pemindahan hak dan penggantian posisi kepemilikan. Menurut Taqyudin an-Nabani dikatakan bahwa sebab-sebab kepemilikan atas suatu barang dapat diperoleh melalui lima sebab yaitu:
1. Bekerja
2. Warisan
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup.
4. Harta pemberian Negara yang di berikan kepada rakyat.
5. Harta yang di peroleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
D. Konsep Kebutuhan dalam islam
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang yang cenderung mempengaruhi perilaku dan kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual, yang kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi di pasar.
Konsep kebutuhan dalam Islam bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motivasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan.
Menurut al-Syathibi, rumusan kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga jenjang, yaitu:
1. Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kebuthan dharuriyat mencakup:
a. Agama (din)
b. Kehidupan (nafs)
c. Pendidikan (‘aql)
d. Keturunan (nasl), dan
e. Harta (mal)
Untuk memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima pokok yang di atas. Allah swt berfirman :
“Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 179)
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai. Oleh karena itu hukum syara’ dalam hal ini bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan dharuri adalah “wajib” (menurut jumhur ulama) atau “fhardu” (menurut ulama Hanafiah). Sebaliknya, larangan Allah berkaitan dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak.
Lima kebutuhan dharuriyat (esensial) yang mencakup din, nafs, ‘aql, nasl, dan mal merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bila satu jenis yang sengaja diabaikan, akan menimbulkan ketimpangan dalam hidup manusia. Manusia hanya dapat melangsungkan hidupnya dengan baik jika kelima macam kebutuhan itu terpenuhi dengan baik pula. Inilah kiranya bentuk keseimbangan kebutuhan hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
2. Hajiyat
Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan tersebut tidak terwujudkan, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan kesulitan itu. Adanya hukum rukhsah (keringinan) adalah sebagai contoh dari kepedulian Syari’at Islam terhadap kebutuhan ini.
3. Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
Jenjang ini merupakan penambahan bentuk kesenangan dan keindahan dharuriyat dan hajiyat. Pembelian merupakan bagian dari keseluruhan perbuatan manusia, yang dilakukan untuk memenuhi kebutahan jasmani (hajatu al-udhawiyah) dan naluri (gharizah) baik berupa sandang, papan, dengan segala kelengkapannya, pangan, sarana transportasi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Semuanya adalah kebutuhan yang telah menjadi potensi kehidupan yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia.
Dalam pemasaran, istilah kebutuhan (need) bearti hasrat untuk memenuhi kebutuhan, keinginan adalah hasrat terhadap pemuas spesifik untuk terpenuhinya kebutuhan itu.
Dalam Islam, ada kebijakan yang dinamakan politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuh-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebuthan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya.
E. Pengalokasian Sumber untuk Kebutuhan
1. Sumber daya alam
Ada dua jenis sumber daya alam, yaitu sumber daya alam yang dapat diperbarui dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Sumber daya alam dapat diperbarui tidak akan habis selama masih bisa dikembangbiakkan. Contohnya tumbuhan dan hewan. Sementara itu, sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui terbentuk melalui proses alam selama jutaan tahun sehingga tidak dapat diperbarui oleh manusia. Contohnya bahan tambang dan minyak bumi.
Semua kekayaan alam yang tersedia tersebut harus dimanfaatkan dan dikelola dengan baik sehingga memberi manfaat besar bagi kemakmuran rakyat. Misalnya tanah dapat dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan, lahan pertanian, perkebunan, peternakan, dan perumahan. Cadangan mineral seperti emas dan besi digunakan sebagai bahan baku industri. Batu bara dan minyak bumi dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar.
Oleh karena sebagian sumber daya alam sifatnya tidak dapat diperbarui, harus dimanfaatkan secara hemat dan efisien. Jika tidak, bukan tidak mungkin akan terkuras dan akhirnya habis. Kelak, generasi selanjutnya tidak lagi bisa menikmati kekayaan alam tersebut.
2. Sumber daya modal
Sumber daya modal atau kapital memberi kontribusi bagi kegiatan produksi maupun pendukung sarana sosial dan ekonomi. Uang, mesin, peralatan industri, gedung, kendaraan, jalan raya, dan jembatan merupakan contoh modal. Modal ini digunakan untuk meningkatkan produksi dan pembangunan ekonomi.
Pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya modal tersebut harus dilakukan secara merata dan efisien. Selain itu, sumber daya modal juga harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Salah satu caranya dengan merawat agar tahan lama.
3. Sumber daya manusia
Sumber daya manusia memegang peranan penting dalam proses produksi dan pembangunan. Hal tersebut karena manusia itu sendiri adalah pelaksana utama dalam seluruh proses pembangunan maupun produksi. Dalam proses produksi ada dua unsur dari sumber daya manusia, yaitu tenaga kerja dan kewirausahaan.
Sumber daya manusia memanfaatkan kekuatan fisik, keahlian, dan kepribadian manusia. Kekuatan fisik manusia tercermin dari kesehatan dan kemampuan fisiknya. Manusia yang sehat dan kuat tentu dapat bekerja dan belajar dengan baik. Selain fisik yang sehat dan kuat, keahlian yang dimiliki seseorang juga menentukan kualitas sumber daya manusia. Sementara itu, kepribadian ditentukan oleh sikap jujur dan keadilan seseorang.
Daftar pustaka