“dan diantara kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, sehingga kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-rum :30 ;21)
Terlalu singkat umur manusia jika dihadapkan ke dalam permasalahan cinta sedangkan bahtera cinta terlalu luas bagi kita untuk bisa mengarunginya. Sehingga banyak sekali dari kalangan salafus shalil rela menghabiskan hidupnya hanya untuk mejadi seorang pujangga. Lantas, apa makna sebenarnya yang terkandung dalam kata cinta? sehingga cinta menjadi sesuatu yang sangat sakral di mata mereka.
Romantisme Cinta Ala Nabi
Apakah Nabi merasakan cinta yang sama seperti kita? Kasih sayang kepada istrinya? Yaaa, Nabi sama dengan kita, beliau juga merasakan cinta sebagaimana manusia lainnya. Hanya saja cara beliau dalam mengimplementasikan cinta dalam kehidupan yang berbeda dengan cinta cara kita. Coba kita perhatikan bagaiamana keromantisan baginda nabi shallallahu alaihi wasallam sewaktu bersama istrinya, Aisyah.
Aisyah berkata kepada Rasulullah, “orang-orang habsyah masuk ke dalam masjid untuk bermain (latihan pedang), kemudian Rasulullah bertanya kepadaku, “yaa khumaira (panggilan rasa sayang nabi kepada Aisyah), apakah engkau ingin melihat mereka bermain pedang? Aku menjawab “iya”. Nabi lalu berdiri di pintu, aku pun mendekatinya lalu aku menyandarkan dakuku di pundaknya, kemudian aku sandarkan wajahku di pipinya. Setelah agak lama, rasul bertanya padaku, “sudahkah cukup engkau melihat mereka bermain”. Aku menjawab, “wahai rasul, jangan terburu-buru”, lalu beliau tetap berdiri untukku agar aku bisa lihat mereka bermain. Beberapa lama setelah itu, beliau kembali bertanya kepadaku, “sudahkah cukup?” aku pun menjawab, “wahai rasulullah, jangan terburu-buru”, aisyah pun melanjutkan ucapannya, sebenarnya aku tak ingin melihat mereka bermain, akan tetapi aku ingin para wanita tau bagaimana kedudukan rasulullah SAW di sisiku dan kedudukanku di sisiMu”.
Perhatikanlah! Bagaimana rasulullah mengajarkan kepada kita untuk menghargai seorang wanita, selama hal itu masih berupa perkara-perkara yang mubah. Beliau tidak segan-segan meluangkan waktunya untuk memenuhi keinginan sang istri.
Ekpresi Cinta Ala Saiki
Kita sering mendengar atau menyaksikan dalam kehidupan nyata, di televisi atau di film-film, bahwa seseorang akan jatuh cinta setelah melihat kecantikan atau ketampanannya. Bahkan banyak sekali orang mengatakan bahwa cerita percintaan romeo dan juliet adalah salah satu contoh dari cinta sejati (true love). Tapi, benarkah demikian? Selain itu, kita juga melihat fenomena percintaan yang berakhir dalam lembah kenistaan. Kok bisa? Iyaaa, banyak di lingkungan sekitar kita wanita yang hamil di luar nikah. Penyebabnya, Mereka telah mengekspresikan cinta di luar nikah layaknya suatu hubungan yang sudah halal menurut syariat, dan mereka menyatakan dengan gamblang bahwa hal yang semacam itu merupakan sesuatu yang sudah lumrah dalam percintaan. Apakah kita, muda-mudi zaman sekarang akan mengiyakan persepsi mereka atau malah menolaknya menta-mentah? Pilihan “Yes Or No” ada dalam kendali personalianya. Lalu bagaimana cinta dalam islam?
Ekpresi Cinta Ala Islam
Allah tak pernah mengharamkan cinta. Cinta adalah sebuah rasa yang sudah menjadi fitrah bagi setiap umat manusia. Namun, manusia diperintahkan untuk menjaga agar cinta itu tidak lantas menjerumuskannya pada tindakan yang diharamkan-Nya. Cinta haruslah menjadi media untuk mendekat kepada-Nya. Cinta yang seperti apakah yang sekiranya mampu mendekatkan kita kepada Sang Pemberi Cinta? Sebut saja, cinta dalam diam.
Cinta dalam diam menurut Islam adalah cara mencintai yang dirasa paling tepat ketika diri belum mampu terikat dalam sebuah ikatan suci, yaitu pernikahan. Jika belum mampu mencintai dan dicintai dalam ikatan pernikahan, cinta dalam diam merupakan jawaban atas segala kegalauan hati.
“Kini aku tersadar, bahwa sendiri adalah status terbaik sebelum menikah. Kesucian diri, tulusnya cinta, dan besarnya pengorbanan, hanya untuk orang yang sudah dihalalkan bagi kita. Maka sebelum nikah kita harus bersabar dalam kesendirian. Kita padatkan waktu untuk berprestasi. Tak perlu lagi kita galau soal jodoh. Kalau diri kita berkualitas. Jodoh yang berkualitas akan dihadirkan untuk kita,” (Ahmad Rifa’i Rif’an).
Persoalan tidak akan selesai hanya dengan kita mengatakan, “Allah, aku mencintainya.” Lantas, apakah yang menjadi bukti bahwa perasaan itu adalah cinta karena Allah? Ya, sebuah perjuangan. Sebuah perjuangan untuk membangun cintalah yang akan kita lakukan setelah rasa bernama cinta itu hadir. Cinta tak semestinya memaksa diri untuk melupakan, tetapi cinta juga tak boleh memaksa diri untuk memiliki. Perasaan cinta haruslah dikelola agar rasa cinta dapat tumbuh ataupun mengkerut sewajarnya. Memantaskan diri merupakan cara untuk mencintai dalam diam.
“Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya,” (Imam Syafi’i).