Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H/817 M dan wafat pada Ahad sore, bertepatan pada tanggal 24 Rajab 261 H.. Nama lengkap beliau adalah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur,
yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu
termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan,
Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu
kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula
bermukim banyak ulama besar.
Ketika
berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada
seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau
mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits. Usia dibawah dari 15 tahun, beliau
tak lagi lagi belajar hadis melainkan mulai memperdalam seputar ilmu
hadits. Memang, Perhatian dan minat beliau terhadap ilmu hadits
sangatlah luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah fokus mendalami hadits. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan.
Selain kepada Ad Dakhili, beliau sering berkelanan keberbagai negara, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama
kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau
berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau
berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau
belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di
Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di
Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan
ulama ahli hadits lainnya.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana(mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
berkat dari ketekunannya mendalami ilmu hadist, maka tak heran kalau Imam Muslim menjadi orang terbaik kedua dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar
ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah
Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud
ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di
masa Abu Quraisy.
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukharimensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan
sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua
dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi
jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beli
au juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip.Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.