Namaku lasti, yah hanya lasti. Yang kata ibu, lasti itu artinya kuat, kuat menghadapi apapun itu, salah satunya adalah kuat menghadapi cobaan hidup dan kerasnya kehidupan. Yah, aku hanya punya ibu tapi tidak punya ayah. Entahlah, tapi kata ibu aku punya ayah yang entah dimana ayahku berada sekarang. Setiap kali aku bertanya tentang ayah kepada ibu, ibu selalu memberi jawaban yang sama, “cantik, kamu punya ayah, sudahlah lupakan, doakan saja semoga ayahmu tenang disana”. Dan itu yang selalu ibu jawab kepadaku, tak ada yang lain.
Aku adalah kaum dhu’afa dinegri ini. Aku tak bisa merasakan duduk manis didalam kelas seperti teman-teman sebayaku yang lain. Untuk membeli sesuap nasi saja aku masih kerepotan apalagi sekolah. Kadang, dalam sehari aku hanya makan sepiring berdua sama ibuku, bahkan aku tidak makan sama sekali. Suatu malam, saat ibu menjahit pakaianku, aku pernah bertanya kepada ibu, “bu’ lasti kapan akan disekolahkan, apa jadinya kalau lasti tidak sekolah?” kata lasti kepada ibunya. “Lasti sayang, sekolah itu utama dan kamu harus bersungguh-sungguh dalam hal itu, nanti kamu akan menyesal seumur hidup”. Jawab ibu lasti, sambil menguatkan hati lasti. “Tapi, lasti tidak mau menyusahkan ibu untuk kesekian kalinya”. Ujar lasti kepada ibunya. “Kamu sayangkan sama ibu”?. Tanya ibu lasti, matanya berkaca-kaca, seolah tak mampu untuk menahan sedih yang sedang dirasakannya. “ibu, kalau soal ibu jangan tanya lagi, lasti sangat sayang sama ibu”. Lasti mencoba menguatkan hati ibunya yang seolah terbakar, oleh gersangnya kehidupan. Kalau kamu benar-benar menyayangi ibu, kamu harus sekolah. Kalau perlu, ibu lebih baik tidak makan dari pada harus hidup melihat anak ibu tidak sekolah”. Sambil menatap kedua mata lasti sesaat dan kembali melanjutkan jahitanya. “jadi besok lasti sudah bisa sekolah dong bu’?” mendengar pertanyaan lasti seperti itu, lantas ibunya berhenti dari menjahitnya dan berkata, “tidak sayang, tidak sekarang, Tapi tahun depan. Kamu akan masuk SD nanti”. Tapi bu’, kalau harus nunggu sampai tahun depan, lasti akan kalah sama temen-temen lasti, terus lasti gag bisa jadi juara kalau begitu”. Kata lasti, memperlihatkan rasa pesimisnya. “jadi seorang juara itu mudah kok sayang, semuanya tergantung sama lasti, kalau lasti belajarnya giat, maka lasti nanti mampu mengalahkan temen-temen lasti yang lain”. Jelas ibu sambil mencubit pipiku. “tapi buku dan gurunya?” tukasku. “ibu sendiri, nanti ibu ajarkan lasti baca tulis dan berhitung. besok ibu akan bekerja, terus uangnya ibu belikan buku buat belajar lasti, setuju?” ibunya sambil memikirkan cara dapatin uang besok. “setuju”. Seruku sambil mencium pipi ibu. “sudah, lasti istirahat sana, sudah malam gak baik buat kesehatan.” Lasti pun menuruti perintah ibunya dan tak lupa berdoa agar tahun depan taqdirnya untuk sekolah bisa menjadi kenyataan. Jam dinding menunjukan 04:30, ibunya lasti bangun untuk menggugurkan kewajibanya sebagai muslim. Setelah langit agak terang, ibu lasti membangunkan lasti dari tidunya, sekaligus memberi tahu lasti kalau ibunya akan berangkat mencari nafkah untuknya.
Waktu itu, mentari bersinar begitu terang menembus dinding-dinding kegelapan. Namun, pagi ini jalanan masih diselimuti kristal-kristal yang jatuh beriringan. Tapi aku dengan semangat mengayuh sepeda pemberian ibu tahun lalu, walaupun dengan perut kosong belum berisi apapun. Kring, kring, kring. “koran, koran”. Teriakku di iringi suara bel yang aku genggam erat. Senyum tipis selalu mengiringi para pembeli koranku, walaupun harganya tak seberapa. Sebenarnya, ibuku melarangku untuk berjualan koran, tapi aku tidak bisa tinggal diam melihat ibu kerja banting tulang menghidupiku, belum lagi pekerjaan ibu yang serabutan tak tentu arahnya. Dari penghasilan ibu yang tak seberapa itu, tak mungkin aku hanya diam mendoakan ibu dari rumah, lagi pula aku ingin menabung dari sekarang supaya aku bisa membeli seragam dan peralatan sekolah sendiri. Aku ingin merasakan dan mengurangi beban ibu yang sedang menggunung dipundaknya. Hari-hariku, ku habiskan untuk berjualan koran.
tahun itu berputar dengan cepat, hingga aku tak sadar kalau sehari lagi aku akan bersekolah. Kalau dulu aku hanya bisa mengintip dari jendela sekolahan sambil berangan-angan dan menggenggam lembaran-lembaran koran, melihat anak seumuranku belajar dengan penuh semangat dan riyang gembira. Namun, Tahun menyedihkan sekaligus mengharukan itu mampu aku lewati dengan kesabaran. Alhasil, sekarang aku sudah bisa sekolah, mimpiku sudah bisa ku jajaki dengan sejuta harapan terbentang di setiap langkahku dan aku tak ingin lagi mengulur impianku dari genggaman ini, aku akan terus berusaha agar aku mampu menciptakan senyum dari kedua bibir ibuku, sama sewaktu aku masih sekolah TK, yang selalu dapat bintang kelas. Hingga akhirnya aku meraih beasiswa. Namun, bukan berarti hidupku berubah menjadi mewah. Tetap saja, hidupku masih serba kekurangan.
Setiap aku berangkat sekolah, sakuku kosong tanpa uang jajan begitu pula perutku keroncongan tanpa sarapan. Tapi, itu bukanlah masalah yang meresahkanku. Sebelumya bekal kemandirianku sudah kebal dan aku sudah terbiasa menghadapi problem semacam itu. Saat jam istirahat, rasanya aku ingin sekali pergi keperpustakaan sekolah mencari buku yang sesuai dengan pelajaranku namun aku mengurungkannya, karena aku tau teman-temanku pasti sedang memakan sarapan yang dibawanya, sedangkan aku hanya akan melihat kunyahan-kunyahan mereka yang malah akan menambah keroncongan lambungku. Aku adalah anak-anak yang masih suka makan jajan. Jadi, biasanya aku mengambil remah-remah milik teman-temanku yang dibuang ditempat sampah lalu kumakan dan sisanya aku simpan di dalam tas dan ku bawa pulang untuk aku makan bersama ibu dirumah.
Pada suatu hari, dimana aku tidak akan bisa melupakan hari itu. Para dewan guru dan kepala sekolah masuk ke kelasku dan menggeledah semua tas milik teman-temanku. Entah apa yang mereka cari. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan? Aku takut, tubuhku gemetar dan keringatku berjatuhan. Rasanya aku ingin berlari keluar kelas itu, namun itu tidak mungkin aku lakukan. Aku hanya mendekap tasku dan erat-erat dan berdoa. Hingga guru itu berhadapan denganku. Dia berkata “ayo, serahkan tasmu”. Paksa mereka sambil menarik tasku. “tidak, aku tidak membawa telephone atau apapun yang bapak maksud. Tolong lepaskan tasku”. Sergahku, sambil memeluk erat tasku. “sebentar, kami hanya ingin memastikan saja nak.” Ujar salah satu guru di situ. “tidak.” Teriakku mengejutkan semua siswa yang ada di dalam kelas. “ya allah, tolong aku.” Bisikku dalam hati kecil ini di iringi dengan deraian air mata yang bagaikan air hujan membasahi bumi. Namun usahaku berakhir sia-sia, mereka berhasil merebut tas dari tanganku. Tubuhku lemas seketika itu, tiba-tiba saja aku teringat ibu dirumah.
“remah-remah ini?” kata yang keluar pertama kali keluar dari mulut guru yang bertugas memeriksa tas lasti itu. “maaf pak, tasku hanya berisi remah-remah ini. Remah-remah sisa jajan para siswa di sekolah.” Pengakuanku kepada semua guru yang ada di kelasku. “kami miskin dan kami kelaparan. Karena ibu menyekolahkanku. Demi sekolahku, aku dan ibuku memilih untuk tidak makan.” Aku melihat semua orang yang ad di kelasku, dan semuanya menitikkan air mata, mungkin mereka menangisi kemiskinanku, aku tak peduli, akupun memberi tau tentang keadaanku semua teman dan guruku. Aku memang miskin dan lapar, tapi aku yakin, Allah SWT akan membukakan jalan untuk mengisi perutku dan perut ibuku dengan remah-remah ini. Remah-remah ini sudah membuatku merasa bersyukur. Aku yakin semua ini adalah proses menuju masa depanku yang lebih baik, walau untuk sementara kami harus memakan remah-remah ini, aku yakin ini hanya untuk sementara. Mendengar pengakuan lasti seperti itu, kepala sekolah yang ada disamping lasti spontan memeluk lasti dan berkata kesemua guru di kelas itu, “lasti ini, berhak untuk mendapat beasiswa, dan saya akan mengusahakannya sendiri”. Dengan suka-cita lasti menangis dan berlari keluar kelas langsung menuju rumahnya dan mengatakan kepada ibunya kalau dirinya akan mendapatkan beasiswa dari sekolah. Ibunya pun terharu mendengarnya dan lekas memeluk erat tubuh lasti, seraya berucap Al-Hamdulillah Yaa Allah engkau tau apa yang sangat kami butuhkan saat ini. Suasana pun berakhir dalam haru, mungkin para malaikat pada saat itu bersuka-cita menadengar cerita hidup gelandangan yang mempunyai cita-cita luhur itu.