Bid’ah, sebagaimana dikemukakan syaikh
zarruq dalam ‘Uddat al-Murid, menurut istilah syariat adalah membuat – buat
perkara baru dalam agama islam yang seolah – olah merupakan bagian dari agama,
padahal bukan, baik dari segi bentuknya maupun hakikatnya. Karena terdapat
sabda nabi Muhammad SAW :
“Barang siapa membuat – buat perkara
baru dalam urusan (agama)kami ini, yaitu perkara yang bukan bagiannya, maka
perkara baru itu di tolak” (al-hadist)
Menurut syeh zarruq, parameter bid’ah
itu ada tiga : pertama, hendaknya diteliti terlebih dahulu perkara baru yang
dibuat – buat. Jika perkara itu diperkuat oleh sebagian besar syariat atau ushul
as – syariah, tentu perkara itu bukan termasuk bid’ah. Jika perkara itu
ditolak dari berbagai segi, maka perkara itu bathil dan menyesatkan. Sedangkan
bila perkara itu di dukung oleh dalil – dalil namun masih dilingkupi oleh
kesamaran hukum, dan ada kesesuaian antara berbagai segi, maka di teliti
kembali segi – segi tersebut. Segi mana yang unggul akan dijadikan sebagai
patokan (status hukum) perkara baru tersebut,
Kedua, memerhatikan kaidah –
kaidah para imam dan generasi salaf umat islama yang mengamalkan ilmunya
melalui jalur as-sunnah. Apa yang bertentangan dengan kaidah – kaidah
tersebut dari berbagai sisi, tentu tidak perlu kita hiraukan lagi. Apa yang
sesuai dengan ushul kaidah – kaidah para imam dan generasi salaf, maka
perkara itu benar adannya (bukan bid’ah)meskipun mereka berbeda pendapat
terkait perkara baru itu dari segi furu’ maupun pokok. Jadi, masing masing
mengikuti usul dan dalilnya.
Adapun pun perkara yang sudah di
tetapkan asalnya oleh generasi salaf, namun tidak ada riwayat bahwa generasi
salaf itu mengerjakannya, maka imam Malik R.A berpendapat “ bid’ah: karna
sesungguhnya genarisi salaf tidak meninggalkan suatu perkara kecuali ada alasan
yang melatarbelakanginya”. Imam Syafi’i berpendapat, “bukan bid’ah: meskipun
perkara itu tidak pernah di lakukan oleh generasi salaf ; karena pengabaian
mereka untuk mengerjakan perkara itu, bisa jadi di sebabkan ada udzur pada masa
itukarna ada suatu perkara yang lebih utama”.
Ketiga, parameter pembedaan
(klasifikasi) dengan dalil-dalil hukum. Dalam hal ini, hukumnya di perinci
ke dalam 6 hukum syari’at: wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula (kurang
baik), dan mubah. Setiap perkara yang condong pada dalil pokok tertentu, dengan
alasan yang shohih, jeles, tidak mengada-ada, maka hukumnya di hubungkan pada
dalil asal tersebut. Dan jika tidak demikian,perkara itu di nilai bid’ah.
Parameter ketiga ini di ikuti oleh para ulamak muhakkiq dan mereka menilai
klasifikasi di atas dari sudut pandang bahasa, (yaitu semata-mata)agar mudah
dimengerti. Wallahu A’lam.
Untuk lebih jelasnya silahkan baca
buku Risalah Aswaja Ahlussunnah Wal Jama’ah, karya hadlratus syaikh
Muhammad Hasyim Asy’ari.