Imam Nawawi dilahirkan pada pertengahan (sebagian riwayat menyatakan pada sepuluh hari pertama) bulan Muharrom, tahun 631 Hijriah di desa Nawa, karena itulah beliau lebih didikenal dengan nama Imam Nawawi. Nawa adalah sebuah desa (kini menjadi kota) yang termasuk bagian dari provinsi Dar’a, jarak antara Nawa dan Dar’a akur 40 KM, Nawa terletak 85 KM disebelah selatan kota Damaskus, Syiria.
Imam Nawawi dibesarkan dibawah asuhan dan bimbingan ayahnya. ayah beliau adalah orang yang lebih senang tertutup dari hal-hal duniawi. Dibawah asuhan ayahnya beliau dididik untuk menjadi orang yang baik dan tertutup dari hal-hal yang bersifat duniawi.
Seakan-akan beliau adalah orang yang sudah dipersiapkan oleh Alloh subhanahu wata’ala untuk mengemban tugas dan pewaris ilmu, wira’i dan kebajikan para Nabi, sampai seorang pembesar ulama’ sholihin pernah mengatakan : “Semenjak dilahirkan, beliau sudah ditulis (ditakdirkan) termasuk dari golongan shodiqin (orang-orang yang lurus/benar/jujur).
Hal itu mulai nampak ketika usia 7 tahun, saat beliau tidur bersama orang tuanya pada malam ke-27 bulan Romadhon, tengah malam beliau terbangun dan membangunkan ayahnya, lalu berkata pada ayahnya; “Wahai ayahku, cahaya apa yang memenuhi rumah ini”, kemudian semua anggota keluarga Imam Nawawi pun bangun namun tak ada yang melihat cahaya itu, namun dari kisah Imam Nawawi tersebut ayahnya mengetahui bahwa malam itu adalah malam lailatul qodar.
Saat usia beliau menginjak 10 tahun, Syekh Yasin bin yusuf Al-Marokisyi, seorang ulama’ yang masyhur akan kewaliannya lewat di desa Nawa dan melihat Imam Nawawi yang sedang bermain dengan teman-temannya, tapi teman-temannya lari meninggalkan beliau dan akhirnya menangis karena teman-temannya enggan bermain dengannya.
Melihat kejadian itu timbul rasa cinta Syekh Yasin pada beliau, dan beliau mendapat firasat baik tentang masa depan Imam Nawawi, kemudian Syekh Yasin mendatangi guru yang mengajarkan Al-Qur’an pada Imam Nawawi,
Syekh Yasin berkata pada guru tersebut;
“Anak ini (Imam Nawawi) diharapkan akan menjadi orang yang paling ‘alim dan paling zuhud dimasanya dan akan bermanfaat bagi banyak orang”,
Mendengar ucapan itu, guru tersebut bertanya; “Apa anda seorang peramal?”
Syekh Yasin menjawab; “Tidak, tapi Alloh yang membuatku berkata seperti itu”.
Perkataan Syekh Yasin itu lalu disampaikan kepada orang tua imam Nawawi, kemudian orang tuanya mendorog Imam Nawawi untuk menghatamkan Al-Qur’an dan akhirnya bisa hatam sebelum beliau mencapai usia baligh. Sebagian riwayat menyatakan bahwa Syekh yasin sendiri yang mendatangi ayah Imam Nawawi untuk memberitahukan firasatnya tersebut dan mendorong agar Imam Nawawi menghafalkan al-qur’an dan menuntut ilmu.
Ketika beliau berumur 19 tahun ayah beliau mengajaknya ke Damaskus untuk melanjutkan studinya. Damaskus merupakan kota yang dipenuhi dengan para Ulama’ yang ahli dalam berbagai bidang, bukan hanya ilmu-ilmu agama dan bahasa arab saja. Karena itulah Damaskus menjadi salah satu tujuan utama para penuntut ilmu dari seluruh penjuru negara Islam kala itu. Hal tersebut bisa dilihat dari kitab Tarikh Damaskus, karya Al-Hafidh Ibnu Asakir, kitab sejarah terbesar mengenai satu kota saja, bayangkan saja sejarah satu kota ditulis dalam 80 jilid kitab yang berisi tentang biografi para ulama’, budayawan, penyair dan penguasa kota Damaskus. Ini menunjukkan betapa kota Damaskus merupakan salah satu pusat studi dalam dunia Islam.
Hal pertama yang beliau kerjakan adalah mencari seorang guru untuk belajar, karena itu tempat pertama yang beliau tuju adalah masjid Jami’ Umawiyah sebagaimana yang sudah menjadi tradisi tempat pertama dituju orang asing adalah masjidnya. Disitu beliau bertemu dengan khotib masjid tersebut, Syekh Abdul Kafi Ar-Roba’i Ad-Damasyqi, setelah mengutarakan maksud kedatangannya ke Damaskus dan keinginannya yang kuat untuk menuntut ilmu Syekh Abdul Kafi menunjukkannya halaqoh mufti Syam, Tajuddin Abdurrohman bin Ibrohim bin Dhiya’ Al-Fazari yang dikenal dengan Syekh Al-Farkah. Kemudian beliau beliau belajar pada Syekh Al-Farkah, jadi Syekh Al-Farkah adalah guru pertama beliau.
Selama belajar pada Syekh Al-Farkah, Imam Nawawi tidak memiliki tempat tinggal sebagaimana pelajar-pelajar lain yang tinggal di madrasah-madrasah yang sangat banyak jumlahnya di Damaskus. Karena itu beliau menanyakan pada Syekh Al-farkah mengenai tempat tinggal baginya, namun Syekh Farkah hanya mengetahui madrasah As-Shorimiyyah hanya saja madrasah itu tidak memiliki asrama tempat tinggal para pelajarnya, kemudian Syekh Farkah menunjukkan beliau pada Syekh Al-Kamal Ishaq Al-Maghrobi di madrasah Ar-Rowahiyah, akhirnya disitulah beliau tinggal dengan menempati satu rumah kecil.
singkat cerita, berkat kegigihannya itu, tidak heran kalau Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
- Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
- Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
- Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
- Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
disarikan dari berbagai sumber, semoga bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kaum muslimin-muslimat sekalian. amiiin....