dalam Surat Al-Mulk : 16.
ﺃَﺃَﻣِﻨْﺘُﻢْ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﺃَﻥْ ﻳَﺨْﺴِﻒَ ﺑِﻜُﻢُ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫِﻲَ ﺗَﻤُﻮﺭُ ﺃَﻡْ ﺃَﻣِﻨْﺘُﻢْ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﺃَﻥْ ﻳُﺮْﺳِﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺣَﺎﺻِﺒًﺎ ﻓَﺴَﺘَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ ﻛَﻴْﻒَ ﻧَﺬِﻳﺮِ
Ayat ini termasuk ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah ada di (atas) langit. Firman Allah Ta’ala,
“Apakah kamu merasa aman terhadap yang berada di langit” tidak mesti bahwa Allah berada di dalam langit. Allah Maha Tinggi dari sifat seperti ini karena Allah itu lebih besar daripada langit dan daripada segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya.
Maksud ayat di atas tidak berarti bahwa langit menjadi tempat Allah berada. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari hal demikian. Karena
“fi” bukan ‘dlarfiyyah’ (petunjuk keterangan tempat). Lafal
“fi” dalam ayat di atas hanyalah memberikan pengertian ‘di atas’. Dengan kata lain, artinya adalah
“‘ala“.
Penggunaan
“fi” seperti ini telah dinyatakan pula oleh Al-Qur’an ketika mengisahkan ucapan Fir’aun,
“Sesungguhnya aku akan menyalib kalian pada batang kurma,” namun yang dimaksud adalah di atas batang pohon kurma, bukan di dalamnya. Meyakini bahwa zat Allah itu berada di atas adalah akidah ulama salafus shaleh. Lain halnya dengan pendapat yang mengatakan bahwa Allah itu berada dimana-mana, baik di tempat yang hina maupun yang indah; atau bahwa Allah itu tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak dibelakang, tidak berada di alam semesta dan tidak di luar. Semua ini merupakan sifat peniadaan. Kita berlindung kepada Allah dari kekufuran dan kesesatan. Namun, betapa teguh dan kuatnya akidah yang dipegang oleh ulama salaf yang saleh! Bagaimana tidak, sedangkan ulama salaf yang saleh itu adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabatnya, dan generasi-generasi pilihan yang kebaikannya telah disaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, kita semua percaya dengan yakin bahwa Dzat Allah itu di langit, dengan kata lain, di atas langit, di atas Arsy dan di atas Kursi, tanpa mempertanyakan bagaimana gambarannya, tanpa mengimajinasikan, tanpa menyerupakan, tanpa memperjelas, tanpa menganggurkan, dan tanpa menyatakan dalam wujud.
Sesungguhnya, penyifatan bahwa Allah berada di atas adalah penyifatan yang hakiki yang sepadan dengan kemuliaan dan keagungan-Nya. Namun, Dia senantiasa bersama hamba-Nya pada semua sifat-Nya yang luhur, di mana saja mereka berada.
Tidak ada yang serupa dengan-Nya barang sesuatu pun. Sedangkan dia tetap Maha mendengar lagi Maha Melihat. Dan merupakan bagian dari kelembutan sekaligus rahmat-Nya bagi semua makhluk- Nya, dimana Dia kuasa untuk mengadzab mereka karena kekufuran sebagian mereka kepada-Nya serta peribadahan mereka kepada selain-Nya. Meskipun demikian, Dia tetap bersabar, memberi maaf, serta memberi tangguh dan tidak menyegerakan siksaan, sebagaimana yang Dia firmankan,
ﻭَﻟَﻮْ ﻳُﺆَﺍﺧِﺬُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺴَﺒُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻙَ ﻋَﻠَﻰ ﻇَﻬْﺮِﻫَﺎ ﻣِﻦ ﺩَﺍﺑَّﺔٍ ﻭَﻟَﻜِﻦ ﻳُﺆَﺧِّﺮُﻫُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺟَﻞٍ ﻣُّﺴَﻤًّﻰ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺟَﺎﺀ ﺃَﺟَﻠُﻬُﻢْ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﺑِﻌِﺒَﺎﺩِﻩِ ﺑَﺼِﻴﺮﺍً
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya”. (Fathir: 45)
Dan disini Dia berfirman,
a amintum man fis samaa-i ay yakhsifa bikumul ardla fa idzaa Hiya tamuur (“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkirbalikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang”) yakni pergi dan datang serta berguncang. (Tafsir Ibnu Katsir)
Ayat 16 ini, berisi ancaman tanah longsor, gempa bumi yang akan menghancur luluhkan semua yang berada di sekitarnya termasuk juga manusia.
Ayat 17
ﺃَﻡْ ﺃَﻣِﻨْﺘُﻢْ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ (Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di langit)