Oleh: Anshari Dimyati
“Kita
serius. Lokasinya sedang kami survei,” katanya kepada sejumlah awak
media di Kantor Gubernur Kalbar, Senin – 16 Januari 2017. Kartius
berkeinginan Tugu Kuntilanak dibangun di tepian Sungai Kapuas dekat
Jembatan Kapuas I. “Kita bikin menara setinggi 100 meter. Jadi wisatawan
bisa melihat Kota Pontianak dari atas, tidak perlu keliling-keliling”,
Ujar Kartius. (Rakyat Kalbar, Selasa – 17 Januari 2017).
Kata
kawan saya Tengku M. Dhani Iqbal (dari Langkat), kosmologi itu luas,
kalau seseorang tak paham bumi itu bulat, dia akan katakan bahwa bumi
itu datar. Sama macam semut bersikeras bahwa dia berjalan di sebuah
dataran yang dia tak paham bahwa pijakannya adalah bola. Pramoedya
Ananta Toer berkata sejalan; “semakin sedikit pengetahuan seseorang
terhadap suatu realitas, maka semakin banyaklah mitos yang mengisi
kesadarannya akan realitas itu.” Saya kira kalimat itu jika dianalogikan
mungkin relevan dengan pemberitaan atau issue santer sepekan ini
tentang Kartius, Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata
(DISPORAPAR) Provinsi Kalimantan Barat, yang “ngotot” ingin membangun
“Patung Kuntilanak” di Kota Pontianak.
Menurut saya, ide atau
gagasan membangun Patung Kuntilanak di Kota Pontianak ini sungguh gila.
Interpretasi “Pontianak” di Kota ini jelas bukan hantu kuntilanak
seperti mitos atau cerita rakyat di Indonesia. Barangkali memang di
Negara tetangga kita Malaysia, kosakata “Pontianak” dijadikan persamaan
untuk menyebut “Kuntilanak” di Indonesia. Terurai dengan penjelasan
bahwa ia sebagai sosok seorang hantu perempuan, berambut panjang, dengan
punggung bolong dan bersimbah darah atau kepala terpaku, atau sebagai
macam lainnya. Entahlah, bagaimana sosok sebenarnya.
Namun cerita
itu hanya mitos atau tahayul, saya tegaskan sekali lagi, itu mitos.
Adakah yang pernah jumpa dengan Kuntilanak secara nyata? Saya kira
Kartius sebagai pelontar kabar ini pun tak pernah berjumpa dengannya.
Atau, Kartius cuma membuat joke untuk menaikkan popularitasnya sebagai
Pejabat Publik? Berbeda barangkali, dengan Dedi Mulyadi sang Bupati
Purwakarta yang katanya sudah menikahi Nyi Roro Kidul. Wallahu’alam.
Semoga hanya sebuah imajinasi liar. Dan imajinasi semacam itu jelas tak
dapat dibenarkan secara rasional di Pontianak, yang notabene sejarahnya
adalah masyarakat yang beradat dan beradab. Tak pernah mengagungkan
mitologi.
Pontianak, Melayu dan Islam
Ditilik dari sisi
sejarah, Kota ‘Panas’ ini bermula dari peluru meriam yang ditembakkan
Syarif Abdurrahman Al-Qadrie pada 1771 Masehi. Peluru yang jatuh di
antara tiga ruas persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak itu
kemudian menjadi batas teritorial Pontianak. Syarif kemudian menjadi
pendiri sekaligus Sultan Pertama Kesultanan Qadriyah Pontianak yang
berada di tepi barat Pulau Borneo atau Kalimantan.
Di bawah
Kesultanan Pontianak, kemajuan pemerintahan dalam berbagai aspek
berkembang dalam rezim masing-masing Sultan. Pontianak berkembang
menjadi pusat perdagangan, pemerintahan, dan peradaban di Kalimantan
Barat. Dalam berbagai naskah sejarah, perjalanan panjang Pontianak
menunjukkan suatu peradaban yang di dalamnya termasuk peradaban
intelektualitas, gagasan modernisasi, strategi perdagangan,
pemerintahan, dan politik.
Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie
adalah anak dari seorang pendakwah Islam (Ahlusunnah Wal Jama’ah) asal
negeri Tarim di Hadramaut-Yaman Selatan, yang bernama Habib Husein
Al-Qadrie. Habib Husein Al-Qadrie dan ketiga kawannya menyebar dakwah
Islam di Kepulauan Melayu (The Malay Archipelago) atau Nusantara. Konon
kabarnya, dia adalah keturunan dari ahlul bait, yaitu darah terdekat
dari Nabi Muhammad Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Sejak
Syarif Abdurrahman Al-Qadrie menemukan tanah khatulistiwa pada 1771 M,
kemudian tahun itu menjadi cikal bakal berdirinya Kota Pontianak. Pada
1778 M gelarnya sebagai Sultan ditabalkan, hingga kekuasaan Kesultanan
tersebut dipegang oleh generasi ketujuhnya, Sultan Hamid II (Sang
Perancang Lambang Negara RI, Garuda Pancasila) pada 1945. Pada masa
Sultan Hamid II ini, Pontianak – Kalimantan Barat bergabung dan menjadi
Indonesia.
Sejak awal, intelektualitas di Pontianak sudah
terpatri secara nyata. Banyak wilayah atau sebuah entitas yang
mengadopsi gagasan-gagasan intelektual Pontianak. Indonesia, misalnya,
yang mengadopsi kerangka pondasi pengadilan agamanya dari Mahkamah
Syariah Kesultanan Pontianak (Sultan, Pahlawan dan Hakim, 2011, Henri
Chambert-Loir). Gagasan-gagasan semacam itu adalah bagian dari khazanah
besar kebudayaan Melayu dan sejarah Islam di Indonesia. Pontianak
sebagai pintu gerbang Kalimantan Barat (Ibu Kota Provinsi) memiliki
beban intelektualitas dalam perkembangan peradabannya.
Dalam
periode yang panjang, bentuk Pemerintahan Pontianak adalah Kesultanan
dengan sistem pemerintahan aristokrasi absolut Islam. Ini menegaskan
bahwa identitas Pontianak adalah Melayu Islam. Sebab, pancang pertama
bangunan yang dialaskan di bandar negeri adalah tiang fondasi Masjid.
Hari ini Masjid itu bernama Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman. Itulah
bangunan pertama di Pontianak. Letak masjid ini berdekatan dengan Istana
Qadriyah, yang tak jauh dari simpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Di sebelah utara negeri Pontianak, terdapat Tugu Khatulistiwa yang
berada tepat di garis lintang nol derajat bumi, yang juga berdekatan
dengan makam para Sultan-sultan Pontianak.
Sejak dulu Pontianak
adalah ‘tanahnya’ Orang Melayu, merupakan tanah yang kunjung diberikan
Allah SWT atas keberkahan dan limpahan rahmat-Nya. Mengapa? Sejak dulu
Pontianak adalah Kota lintas perdagangan dan perjumpaan peradaban.
Transaksi kelangsungan hidup manusia, melewati teritori ini dalam damai
dan berdampingan. Ada Dayak bersinggah ke sini membeli ikan, Cina
menjual dagangan. Jawa menyeberang pulau, beranak dan bermukim
bertahun-tahun. Orang Sumatera dan Bugis dari Sulawesi membuka lahan
perkebunan.
Semua tak lantas membuat Orang Pontianak menjadi
eksklusif dan menentang pluralitas yang ada di Indonesia. Bahkan
bertahun-tahun yang terjadi adalah pribumi di Kota Pontianak sangat
inklusif dan dapat menempatkan diri dengan baik di tengah keberagaman
itu. Namun, kadang, hasil dari proses akulturasi dan perkawinan silang
berbagai budaya menerabas identitas yang ada.
Pontianak adalah
kotanya orang Melayu, kita berbahasa Melayu di sini, di samping bahasa
resmi Indonesia. Apa identitas Melayu? Melayu syarat akan Syari'at.
Seperti orang tua kami bilang "Adat bersendi Syara', Syara' bersendi
Kitabullah." Artinya adalah hidup Orang "Melayu" Pontianak bersanggah
pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Penerapan hidup itu berlangsung tak
singkat, tapi ratusan tahun. Orang Pontianak selalu berhasil
mengaplikasikannya. Orang Pontianak tak melandaskan hal yang irrasionil
dalam hidupnya, tak melandaskan mitos dan tahayyul dalam hidupnya.
Di tengah laju modernitas, orang Pontianak masih tetap mampu
melakukannya. Kita tengok bagaimana acara adat pernikahannya, tak pernah
lepas dari nilai-nilai Islam. Tak ada agenda resmi apapun yang tak
lepas dari pembacaan Kalam atau Firman Allah dalam Kitabullah. Adat
berHadrah - Barzanji yang tak luput dari lontaran syukur karena
Rabb-Nya. Pun sikap, tindak tanduk yang mengikuti Sunnah Baginda
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Saya kira begitupula
orang Jawa, Dayak, Cina, Bugis, Sumatera yang sudah lama merantau dan
memiliki keturunan di sini mengikuti pola dan menghargai di mana
tempatnya berpijak. Semua saling menghargai dalam waktu berabad-abad
silam. Mereka paham bahwa Orang Pontianak tak memberhalakan Patung.
Perlu kita ingat kembali bahwa ketika Sultan Syarif Abdurrahman
menemukan tanah Pontianak, bangunan pertama kali yang dibangun adalah
Masjid, bukan Patung, apalagi Patung Mitologi semacam Kuntilanak.
Pontianak Bukan Kuntilanak
Lantas bagaimana dengan Kartius? Kartius barangkali tak begitu mengenal
Pontianak, jelas karena Kota ini bukan Kampung halamannya. Jadi,
perihal sejarah-pun dia tak mendalami pada ahlinya. Kota ini banyak ahli
sejarah, mengapa sebelum melontarkan pernyataan dia tak bertanya? Atau
bangunlah apa saja di Kampungnya sana, dan tak merusak tatanan
masyarakat di Kota ini. Kekecewaan pula menjadi viral di dunia maya atas
pernyataan Kartius yang “ngotot” ingin membangun Patung Kuntilanak.
Pernyataan dan keinginannya dianggap menjatuhkan martabat kualitas
pendidikan yang ada di Kota ini.
Barangkali dia lihat situs
Wikipedia.com
yang tanpa filter dan research terlebih dahulu mencantumkan cerita
rakyat, bahwa Sultan Syarif Abdurrahman menembakkan meriam untuk
mengusir Hantu Kuntilanak atau Hantu Perempuan. Penamaan asal Kota ini
begitu jelas dicantumkan dalam sub etimologi pada website populer itu.
Namun, apakah kita lantas mempercayai begitu saja folklore tersebut? dan
kemudian mensyukuri sejarah penamaan itu dengan membangun sebuah
monumen yang tak dilandasi dengan pencarian dan pembuktian ilmiah dan
terdata dengan baik?
Sejarah penamaan Kota Pontianak masih belum
dapat dikatakan final. Belum ada landasan kuat untuk mengunci
interpretasi kosakata tersebut. Banyak perspektif sejarah yang
menyebutkan dan menceritakan apa itu Pontianak. Saya kira letak
pernyataan yang salah pada keinginan Kartius bukan pada sejarah yang
tumpang tindih, tapi pada tendensi Kartius yang memaksakan sesuatu yang
belum jelas menjadi konsensus masyarakat Pontianak.
Diskursus
sebenarnya soal nama Pontianak tak banyak kita dapatkan di “google” yang
merupakan search engine termasyhur abad ini, untuk mengetahui apa yang
kita butuhkan. Semua mengarah pada “Pontianak adalah Kuntilanak”, yang
seakan dapat diasumsikan masyarakat Kota ini sangat menyukai Mitos atau
Tahayul, lantas apa guna pendidikan-ilmiah atau intelektualitas?
Pernyataan tersebut jelas menerabas sistem pendidikan atau pengetahuan
modern di Kota ini.
Namun bersyukur ada seorang peneliti muda
yang gerah untuk mengungkap kebohongan beberapa orang tua. Dalam bukunya
“Pontianak Heritage, 2013”, Ahmad DZ cukup berhasil membungkam opini
bahwa asal penamaan Kota ini hanya dalam satu perspektif. Satu-satunya
persepektif, yaitu mitologi. Dalam hal pernyataan pertama ini, jelas
diceritakan bagaimana folklore yang berkembang adalah adanya Hantu
Kuntilanak yang konon banyak terdapat di delta pertemuan antara Sungai
Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak yang biasa kami
sebut dengan nama “Tanjong Besiku”.
Dalam cerita ini juga terbagi
atas dua perspektif di dalamnya. Pertama, rombongan Sultan Syarif
Abdurrahman menembakkan meriamnya untuk menakut-nakuti Hantu Kuntilanak
itu, dan kemudian dengan upaya pengusiran Hantu itu dijadikanlah nama
Pontianak menjadi nama wilayah atau kawasan tersebut. Dan Kedua, adalah
yang ditembak oleh rombongan Sultan Syarif Abdurrahman dengan
menggunakan meriam itu sebetulnya sekelompok Perompak atau penjahat yang
banyak terdapat di kawasan tersebut. Dan setelah dapat diusir, barulah
rombongan Sultan Syarif Abdurrahman dapat mendiami wilayah Pontianak.
Cerita ini tidak berdiri tunggal. Ahmad DZ setidaknya menguraikan ada
lima perspektif berikutnya (enam perspektif secara keseluruhan) pada
penamaan Kota Pontianak. Pendapat Kedua yang membantah Perspektif
Pertama itu adalah, Pontianak bisa saja diartikan sebagai “Ayunan Anak”,
ada banyak ayunan anak dari keluarga yang dipekerjakan pada saat
pembangunan Masjid Jami’. (Ja’ Achmad & J U Lontaan) Kemudian
perspektif Ketiga, penamaan Pontianak berasal dari kata “Pohon Punti”
atau Pohon-pohon yang tinggi seperti dimaksud dalam buku Sultan,
Pahlawan dan Hakim, Henry Chambert-Loir, 2011.
Perspektif
Keempat, Pontianak juga dapat berasal dari kata “Pontian” yang artinya
perhentian. Perhentian dimaksud adalah Persinggahan. Karena memang
“Tanjong Besiku” itu adalah wilayah strategis untuk bersinggah dan
berdagang. Kemudian Perspektif Kelima, Pontianak dalam pelafalan bahasa
Mandarin adalah Kun Tian (Kun Tien, dalam pelafalan Hanyu Pinyin, Kun
Dian dalam bahasa Mandarin). Kata Kun Tian ini berarti “Tempat
Perhentian; Persinggahan”. Pendapat ini saya kira tak berbeda dengan
penafsiran pada Perspektif Keempat. Perspektif terakhir (Keenam) adalah
asal kata Pontianak berasal dari kata “Pintu Anak”. Yang berarti wilayah
kawasan ini merupakan pintu dari dua anak sungai, yaitu Sungai Kapuas
dan Sungai Landak.
Saya tak bersepakat dengan pernyataan Ahmad
DZ berikutnya, tentang harapannya dalam aspek toponimi (cabang
antropologi tentang nama, tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan
tipologinya) penelitian yang dilakukannya akan menjadi lebih cerah
disebabkan ada pertemuan cerita rakyat atau mitos yang irrasionil dengan
hal-hal yang bersifat ilmiah atau rasional. Menurut saya kedua hal
tersebut tak dapat di-perjumpa-kan dan kemudian menjadi solusi bagi
manusia yang hidup di dunia. Perjumpaan keduanya hanya akan mengaburkan
(memburamkan) jawaban atas persoalan aspek logis. Keduanya memiliki
dunia masing-masing dengan lapangan keilmuan yang tegak berdiri sendiri,
tak dapat dicampuradukkan. Ini tentang pijakan yang sepatutnya
argumentatif.
Namun, saya mengapresiasi tulisan Ahmad DZ atas
uraian kata dan makna Pontianak dalam berbagai macam persepektif yang
dituangkan untuk konsumsi publik Kota ini. Saya kira akan sangat
bermanfaat untuk konsumsi Masyarakat dan Pemerintah dalam menentukan
literaturnya. Kaya akan wacana menjadi semakin baik dan menjadi solusi
atas ketidakjelasan sejarah serta asal nama Kota ini. Diskursus tentang
penamaan Kota ini sangat krusial untuk dibahas dan ditetapkan menjadi
konsensus-bersama, dan “kata dan nama”-pula menjadi penting sebagai do’a
masyarakat di dalamnya.
Artinya, kita punya pekerjaan rumah
yang cukup besar untuk menentukan, apa arti sebenarnya nama “Pontianak”,
dengan menimbang pilihan-pilihan perspektif tersebut. Begitupula dengan
Kartius, yang merupakan seorang Pejabat Publik (Pemerintah) yang
sepatutnya bijak untuk memilah dan memilih literatur ilmiahnya dalam
menentukan suatu kebijakan. Bukan asal bicara, bukan asal membuat
keputusan.
Aspek Berdirinya Monumen
Dengan melihat alasan
keinginan dibangunnya “Patung Kuntilanak” oleh Kartius ini, jelas dapat
disimpulkan bahwa pertimbangannya adalah hanya sebuah gairah atau
keinginan menunjukkan ke-saya-an-nya. Cuma ingin menunjukkan “ini
Ide-nya”, mengimplementasikan ide-nya, dengan alasan “Inovasi dan
kreatif” yang klaimnya mendapat dukungan orang banyak.
Dia
pejabat pemerintah atau seorang yang diberikan amanah rakyat untuk
mengemban visi pendidikan dalam pariwisata. Namun, dia tak menampilkan
aspek lain dalam gagasan tersebut, hanya aspek mitologis dan cerita
rakyat (dalam satu perspektif). Itu saja. Tak ada aspek edukasi di situ,
tak ada pendidikan yang dapat membangun kualitas hidup masyarakatnya.
Kartius tak mempertimbangkan kemaslahatan orang banyak, sekali terlontar
sudah membuat gaduh satu Kota. Dia bersikukuh sudah benar, namun tak
layak dikatakan bijak menjabat kalau menuai banyak protes dan kritikan.
Untuk pengembangan daya tarik pariwisata atau destinasi wisata, saya
kira Kartius patut memperhatikan berbagai aspek. Salah satu aspek
penting untuk pembahasan adalah Aspek Hukum dalam Pariwisata, jangan
sampai monumen itu melanggar koridor hukum yang berlaku. Aspek hukum
tentang pariwisata harus melihat regulasi yang mengatur, kita lihat
Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Pada
bagian konsideran (asas menimbang atau pertimbangan untuk memutuskan dan
menetapkan UU tentang Kepariwisataan oleh DPR RI - Legislatif), point c
disebutkan; bahwa “kepariwisataan merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana,
terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan
perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam
masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan
nasional.”
Ketentuan ini bukan hanya mengikat bagi masyarakat dan
pengusaha pariwisata, akan tetapi jelas mengikat Pemerintah atau
Pemerintah Daerah yang membangun destinasi wisata dimaksud. Jelas, ada
perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya, lingkungan dan
kepentingan nasional. Dalam konteks “Kuntilanak”, apakah terkait dengan
nilai-nilai itu? Menurut akal sehat, tidak. Hal ini juga diatur dalam
Pasal 25 huruf a, dan Pasal 26 huruf a dan b UU Kepariwisataan.
Kita lihat pada Pasal 1 point 4, BAB I tentang Ketentuan Umum, yang
menyebutkan bahwa “Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang
terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin
yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan Negara serta
interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan,
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.” Kita garis bawahi kata
“masyarakat setempat”, di mana tujuan dibangunnya patung atau monumen
itu berada di Sungai Kapuas dekat dengan Jembatan Kapuas I. Apakah
masyarakat setempat setuju, atau membutuhkan monumen tersebut? Saya kira
kata “butuh” itu akan sangat berguna bila monumen wisata memberikan
lapangan pekerjaan baru pada masyarakat setempat, namun, tetap pada
kerangka etis. Banyak opsi lain selain Kuntilanak, kemudian kita lihat
apa sejarah yang tepat bagi masyarakat setempat.
Ide tentang
pembangunan Patung Kuntilanak ini juga saya kira menabrak Pasal 1 point 5
dan 6 tentang Daya Tarik Wisata untuk destinasi pariwisata. Kemudian
Pasal 2 huruf a, BAB II tentang Asas, Fungsi, dan Tujuan, yang
menyebutkan tentang Kepariwisataan yang diselenggarakan berdasarkan asas
kemanfaatan. Pasal 4 huruf g tentang pesan yang harus mengangkat citra
bangsa. Pasal 5 BAB III tentang Prinsip-prinsip Penyelenggaraan
Kepariwisataan. Jelas dan tegas pada Pasal 5 huruf a itu menjunjung
tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep
hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha
Esa.
Banyak lagi ketentuan-ketentuan yang patut di tilik dan
ditimbang oleh Kartius sebagai Kepala Dinas Pariwisata. Catatan tambahan
dari saya bahwa dia patut pula melihat Pasal 12 ayat 1 huruf c, d, e
Bab V tentang Kawasan Strategis, tentang lokasi strategis, dan huruf f
tentang kesiapan dan dukungan masyarakat. Walaupun kawasan strategis
untuk wilayah Provinsi ditetapkan oleh otoritas Pemerintah Daerah, ada
ketentuan tentang Hak, Kewajiban dan Larangan pada Bab VII. Pada bagian
Kesatu tentang Hak pada Bab tersebut, Pasal 20 huruf a diatur tentang
informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata. Pertanyaannya adalah
apa informasi akurat tentang Kuntilanak? Masyarakat jelas akan bertanya.
Apa yang perlu saya tambahkan dalam ketentuan “Sanksi Administratif dan
Sanksi Pidana – Vide Pasal 62, 63, dan 64” ini adalah, tak secara tegas
mengatur bila yang melanggar adalah Pemerintah Daerahnya sendiri. Hanya
disebutkan Masyarakat dan Pengusaha Pariwisata. Namun bila ada
terobosan hukum, apakah Pemerintah Daerah dapat dijerat pengaturan
ketentuan tersebut? Saya kira bisa. Bila penegak hukum berani mengambil
sikap.
Pertanyaan selanjutnya, apakah keinginan tersebut sudah
melalui tahapan pembahasan akademik dan sesuai dengan amanah
Undang-undang (UU)? Saya kira kita patut menggali dari berbagai aspek
ilmiah, bukan menafikannya. Apakah sudah ada naskah yang melalui tahapan
uji materinya? Dalam konteks apa Kuntilanak menjadi penting untuk
dimonumenkan? Bukankah biasanya monumen itu terkait dengan sejarah
kepahlawanan seseorang atau sebuah karya bangsa yang dihargai banyak
orang. Sedangkan kajian secara akademik jelas untuk mempertimbangkan
atau mengukur apa urgensi pembangunan sebuah monumen atau patung.
Ada aspek-aspek lain yang tak boleh luput menjadi pertimbangan sebelum
melakukan ‘eksekusi’ pembangunan. Aspek-aspek tersebut adalah Aspek
Sosiologis terkait dengan masyarakat setempat, Aspek Filosofis, Aspek
Agama, Aspek Pendidikan (Edukasi) – Aspek Ilmiah. Tak begitu penting
untuk saya menguraikan lebih lanjut, bila kita semua paham apa tujuan
sebenarnya sebuah pembangunan.
Saya lebih sepaham dengan
penafsiran Budayawan Pontianak; HA Halim Ramli yang menyebutkan bahwa
penamaan Pontianak itu lebih cenderung logis menempatkan “Pohon Punti
atau Persinggahan” sebagai arti. Tinggal kita lihat, mana yang lebih
kuat argumentasi, data, dan fakta sebenarnya. Sepaham pula saya dengan
H. Max Jusuf Alkadrie, salah seorang Keluarga Kesultanan Pontianak dan
mantan Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, yang pernah menyebutkan bahwa
yang dimaksud Kuntilanak itu bukan Hantu Perempuan, namun Perompak yang
berada di “Tanjong Besiku” tersebut.
Hal yang membuat semua
menjadi tersimpul dengan baik adalah, bila tanggung jawab sosial ini
diejawantahkan dalam bentuk Karya Ilmiah. Barangkali saya belum
menemukan, tapi saya kira belum ada yang meneliti khusus tentang
penamaan Pontianak dalam bentuk Skripsi, Tesis, atau Disertasi. Pun
kalau memang sudah ada, bisa kita dedah bersama sebagai bahan untuk
menentukan makna kata Pontianak sebagai kesepakatan bersama. Lantas, apa
solusi Monumen atau Destinasi Pariwisata yang pantas di Ibu Kota
Kalimantan Barat ini? Sejarah, jelas biasanya terkait dengan pahlawan,
atau cerita nyata yang sesuai dengan fakta. Sekali lagi, bukan berangkat
dari mitos.
Monumen merupakan sebuah bangunan atau tanda yang
mengabadikan bentuk cuplikan atau perjalanan peristiwa bersejarah atau
tokoh pelaku sejarah yang dapat mewakili sebuah peristiwa, sehingga
dapat dipakai, digunakan, dimanfaatkan sebagai penerus jiwa semangat
juang (refleksitas) dan pewarisan nilai-nilai perjuangan bagi generasi
penerus bangsa, yaitu putra putri bangsa. Untuk mewujudkan hal tersebut,
dapat dibangun sebuah monument di tempat peristiwa itu terjadi atau di
tempat dimana ada keterkaitan antara wilayah dengan tokoh pahlawan, agar
semangat dan jiwa kepahlawanannya dapat diwariskan dan diteruskan
generasi berikutnya.
Monumen dapat pula didirikan dengan maksud
untuk menghargai pahlawan yang telah tiada, sehingga diharapkan sikap
dan teladan para pejuang dan pahlawan tersebut dapat diambil pelajaran
berharga untuk generasi berikutnya. Disisi lain, pembangunan monument
juga dapat mengandung 4 (empat) unsur kegunaan, yaitu untuk mendidik
(edukatif), memberi pengajaran (instruktif), mengilhami (inspiratif),
dan juga sebagai sarana hiburan (rekreatif). Monumen sebagai relik
sejarah dapat berupa patung, relief, tugu, batu, tembok, museum yang
didalamnya terdapat banyak peninggalan-peninggalan benda-benda
bersejarah, dan banyak macam lainnya.
Sultan Hamid II (Sang
Perancang Lambang Negara Indonesia – Garuda Pancasila) merupakan salah
seorang putra bangsa yang menjadi pahlawan atas kiprahnya dalam
kenegaraan di Indonesia maupun Internasional. Sultan Hamid II sepatutnya
mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan dan
kedaulatan Indonesia. Khususnya di Pontianak – Kalimantan Barat. Saya
menawarkan opsi tersebut. Jelas, Sultan Hamid II memberikan banyak
sumbangsih bagi bangsa ini, bagi Negara ini. Monumen Garuda Pancasila
dan Sultan Hamid II menjadi daya tawar atau solusi atas kegaduhan di
Kota ini terkait Patung Kuntilanak.
Di Pontianak, Ibu Kota
Provinsi Kalimantan Barat di Indonesia bisa kita dapatkan berbagai
monument sejarah atas perjalanan sejarah wilayahnya, salah satunya
adalah Monumen (Tugu) Khatulistiwa. Namun, tak dapat kita jumpai monumen
sejarah (patung/tugu) yang mencerminkan ketokohan atau kepahlawanan
atas perjuangan tokoh di wilayah Pontianak – Kalimantan Barat. Sedangkan
di daerah-daerah lain di Indonesia, kita dapat melihat secara jelas
bagaimana penghargaan setinggi-tingginya terhadap pahlawan atau tokoh
pada wilayah masing-masing. Penghargaan tersebut diejawantahkan kedalam
sebuah monumen sejarah seperti patung tokoh-tokoh pahlawan bangsa.
Atau, solusi lain barangkali, dapat dibangun Monumen “Perahu Lancang
Kuning”, Monumen “Telok Belanga”, Monumen “Kopi Pancong”, dan lainnya
yang tak lepas dari kehidupan budaya masyarakat asli Kota Pontianak.
Masih banyak pilihan lain yang lebih argumentatif, dan semoga kita dapat
lebih rasional dalam menentukan sebuah langkah pembangunan.