Al-Quran membahas manusia tidak hanya dari satu arah. Dari satu sisi, Al-Quran membahas manusia dari sisi hakikatnya. Dalam bahasa arab istilah yang dipakai adalah Al-Insan dan Al-Ins, yang secara bahasa adalah manusia secara individu. Al-Quran memang menyinggung hakikat manusia, akan tetapi pembahasan yang jauh lebih banyak didalam Al-Quran adalah tentang eksistensi manusia, dan hanya sedikit jika kita enggan mengatakan tidak ada pembahasan secara langsung ayat yang membahas manusia secara esensi.
Perbedaan antara esensi dan eksistensi adalah terletak pada titik fokus peninjauan hakikatnya. Esensi membahas hakikat sesuatu tanpa tanpa dikaitkan pada hal lain, sedangkan eksistensi adalah hakikat sesuatu yang tidak boleh tidak dikaitkan dengan yang lain. Atau dengan bahasa lain esensi adalah alam potensial dan eksistensi adalah alam faktual. Wedang kopi misalnya, secara esensi adalah minuman yang dibuat dari campuran bubuk, kopi, gula dan air atau juga ditambah bahan-bahan lainnya, dimana minuman ini mengandung zat-zat tertentu dengan segala efeknya. Sedangkan secara eksistensi, wedang kopi adalah minuman yang sarat filosofis, yakni dengan melihat banyak orang meminumnya sebagai karena alasan-alasan filosofis tertentu. Wedang kopimenurut eksistensi adalah sebagai minuman pavorit, karena banyak diminum oleh masyarakat di dunia. secara eksistesi inilah wedang kopi bisa disebut enak, mahal-murah (saat dibandingkan dengan minuman lain), juga di sebut minuman pekerja (saat melihat bahwa kopi ternyata lebih banyak diminum oleh orang saat bekerja). Dan seterusnya.
Sedang manusia, secara esensi adalah makhluk yang di ciptakan dari unsur-unsur tertentu, memiliki kecerdasan lebih (akal dan hati nurani). Secara esensi manusia berbeda dari hewan hanya karena kecerdasan ini, tidak lebih. Sedangkan secara eksistensi manusia adalah makhluk tertinggi atau kholifah (al-baqarah : 30), pengemban amanah dari tuhan (al-ahzab : 72), diciptakan untuk menjadi hamba-Nya yang baik (adz-dzriyat : 56), diciptakan dengan kerakteristik lemah (ar-rum : 54), terburu-buru (al-anbiya’ : 37), banyak berdebat (al-kahfi : 54), manusia akan selalu berada dalam kerugian kecuali yang memiliki prilaku tertentu (al-ashr : 1-3) dan lain sebagainya. Al-Quran lebih banyak membahas eksistensi, dan bukan esensi, karena dari sisi eksistensi inilah manusia bisa di sebut baik-buruk, indah-jelek, muslim-kafir, muhshin-munafiq, mencintai-membensi, dan lain sebagainya. Sedangkan manusia secara esensi, manusia hanyalah tanah, lumpur atau buah sperma. Pembahasan eksistensi manusia dalam Al-Quran bisa meliputi eksistensi vertikal (manusia dari sisi hubungannya dengan Allah SWT) dan eksistensi horizontal (manusia dari sisi hubungan dengan makhluk lain, baik makhluk fisik maupun metafisik). Itu semua semua adalah pembahasan manusia dari sisi al-insan (human), hakikat manusia, manusia secara individu. Dimana didalamnya akan dibahas apa itu manusia (esensi manusia), siapa itu manusia (eksistensi manusia), apa saja sifat dasar manusia (psikolog manusia), apa tujuan manusia (filosofi manusia), apa saja kebutuhan manusia, dan banyak hal lain.
Selanjutnya, Al-Quran juga membahas manusia dari sisi an-nas (society, masyarakat), bahkan Al-Quran membahasnya dalam satu surah khusus, surah an-nas yang merupakan surah terakhir dalam Al-Quran. Surah an-nas merupakan pondasi awal dalam memahami dan berinteraksi dengan society, yakni seorang muslim harus berlindung kepada tuhan dari godaan masyarakat, dimana godaan itu yang paling berbahaya adalah godaan terhadap hati (shudur), karena godaan terhadap hati dapat mengubah jati diri, tujuan dan akhirnya perubahan prilaku manusia menjadi lebih kejam dari binatang.
Selain dari pada an-nas, di dalam Al-Quran banyak sekali pembahasan tentang society, misalnya dalam surah Al-Quraisy yang menjelaskan dua kebutuhan dasar manusia (society), yaitu al-ju’ ( kesejahteraan) dan al-khauf(stabilitas). Juga dalam surah al-ma’un yang membahas jenis manusia yang sangat egois bahkan dianggap sebagai orang yang tidak percaya kepada agama, yaitu orang-orang yang enggan mengayomi anak yatim dan tidak peduli orang miskin, jika dia beribadah maka dilakukan dengan alasan kepentingan pribadi (pamer), serta dia enggan meminjamkan perabotan kepada senak tetangga. Dalam surah al-ma’un ini sangat terasa bagaimana Al-Quran mengecam orang-orang yang tidak peduli pada kepentingan bersama, tidak melakukan pengentasan garis kemiskinan, sangat egois dan terpusan pada kepentingan diri, serta pelit dan sangat perhitungan. Saking besarnya kecaman itu sampai-sampai Al-Quran menyebut jenis orang semacam itu dengan pendusta agama.
Masih tentang society, juga ada pembahasan tentang kewajiban memerintah yang baik dan melarang hal buruk, ada kewajiban tawashi (saling bernasihat kebenaran dan kesabaran), ada kewajiban belajar (pengembangan diri menjadi pribadi yang lebih baik) yang pada nantinya digunakan untuk mengajak kebaikan kepada masyarakat, dan banyak lagi. Untuk melakukan semua itu kepada society, tentu tidak cukup satu rak buku, tidak cukup beberapa disiplin ilmu saja, apalagi hanya ilmu-ilmu yang dibahas secara al-insan (human), seperti banyak mata pelajaran di pesantren dan sekolah saat ini, tanpa di gali sisi kembangnya pada arah society. Sangatlah dibutuhkan pembahasan society dari berbagai disiplin ilmu. Misalnya untuk memahami stabilitas perlu ada pembahasan sosiologi, politik-militer. Untuk membahas kesejahteraan, perlu melibatkan menajemen ekonomi, ekonomi mikro-makro, politik-ekonomi, sosiologi-psikologi dan bagian faktor-faktor kesejahteraan, dan lain lain. Untuk mengembangkan pendidikan, perlu i;mu manajeen pendidikan, kurikulum pendidikan, ilmu keorganisasian dan banyak lagi.
Sebenarnya para ulama terdahulu telah banyak menulis mengenai society, baik sepintas dalam karyanya atau bahkan dalam suatu kitab khusus. Misalnya seikh ibnu kholdun dengan karyanya yeng berjudul moqoddimah. Di dalamnya beliau membahas sosiologi, sejarah dan banyak hal mengenai society. Iman Al-Mawardi membahas politik dalam karyanya yang berjudul al-ahkam as-shulthaniyah. Imam Al-Washabi membahas tenyang pentingnya bekerja dan berusaha dalam karyanya al-barakah fi fadhlis-sa’y wa al-harakah. Juga Imam Muhammad Al-kurdi yang dikutip oleh syekh Abdur-Rahman ba Alawi dalam bughyatul-musytarsyidin, beliau menyatakan bahwa fardu kifayah bagi orang-orang kaya mengayomi orang-orang fakir yang kelaparan, membelikan baju bagi orang yang tidak mampu membeli pakaian penutup aurat. Dari situ, banyak sekali hal yang kurang atau bahkan gagal dipahami oleh penuntut ilmu di masa sekarang, yang hanya terfokus pada pembahasan manusia dari sisi Al-Insan.
Ironinya, ditambah pula pendidikan malah mencetak orang-orang yang bukan saja terfokus pada al-insan, melainkan terfokus pada kepentingan dirinya sendiri. Semua hal akan di maknai dalam arti dirinya sendiri. Keamanan artinya adalah keamanan bagi dirinya sendiri. Kepandaian di artikan sebagai kepentingan dirinya sendiri. Kebutuhan artinya adalah kebutuhan dirinya sendiri. Dan seterusnya. Bukankah orang yang semacam ini telah dikecam habis dalam Al-Quran, justeru malah di cetak oleh lembaga pendidikan secara tidak sengaja atau sengaja.
referensi : artikel ini adalah karya ust. achmad biyadi busyrol basyar, salah satu gus di pondok pesantren miftahul ulum RU IV desa ganjaran.