Alasan Hijrahnya Al-Asy’ari Dari Faham Mu’tazilah Ke Aswaja
Imam abu hasan al-asy’ari lahir dibashrah pada tahun 260 H / 873 M dan wafat di baghdad pada tahun 324 H / 935 M. Beliau adalah tokoh yang mendirikan madzhab al-asy’ari. Madzhab yang pembahasannya berkecimpumg di bidang teologi (tauhid). Namun sebelumnya beliau adalah tokoh besar yang berfahamkan mu’tazilah, kurang lebih 70 persen umurnya beliau habiskan untuk menganut faham mu’tazilah sebelum beliau memutuskan untuk meninggalkan faham tersebut. Tentunya beliau mempunyai alasan yang sangat kuat sehingga beliau berani meninggalkan faham yang telah membesarkan namanya dan guru (al-jubbai) yang telah mengajarinya sehingga menjadi manusia yang hebat dan disegani banyak orang. Terdapat beberapa alasan yang melatar belakangi beliau untuk meniggalkan faham mu’tazilah tersebut, diantaranya :
1. Ketidak-puasan al-asy’ari terhadap pola pikir dan metodologi yang mengandalkan nalar tanpa disokong dengan kecerahan wahyu atau al-quran dan hadist. Letak ketidak-puasan beliau adalah saat beliau melakukan dialog intensif dengan gurunya (al-jubbai) tentang “bagaimana kedudukan ketiga orang, mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat ?”. Menurut imam as-sabki, dialog berlangsung sebagai berikut :
Al-asy’ari : bagaimana kedudukan tiga orang berikut : mukmin, kafir dan anak kecil akhirat kelak ?.
Al-jubbai : yang mukmin mendapat tempat mulia di surga, yang kafir mendapat adzab di neraka dan yang anak kecil terlepas dari dari bahaya neraka!.
Al-asy’ari : kalau anak kecil tadi mendapatkan tempat yang yang lebih baik atau yang mulia di surga, mungkinkah itu ?.
Al-jubbai : tidak mungkin, sebab yang mendapat tempat mulia di surga itu hanyalah orang-orang yang taat kepada tuhan, sedangka anak kecil tadi belum pernah melakukan ketaatan itu !.
Al-asy’ari : kalau anak kecil mengatakan kepada tuhan : itu bukan salahku, jika sekiranya Engkau berikan aku umur panjang , maka aku akan mengerjakan amal-amal baikseperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-jubbai : Allah akan menjawab : aku tau bahwa jika engkau terus hidup, engkau akan banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada ku, oleh karena itu engkau akan mendapatkan siksa. Maka untuk kebaikanmu aku cabut nyawamu sebelum kamu mencapai umur mukallaf (bertanggung jawab atas amalnya).
Al-asy’ari : sekiranya orang kafir tadi mengatakan kepada Allah : Engkau mengetahui masa depanku sebagaimana engkau mengetahui masa depan anak kecil itu. Mengapa Engkau membiarkanku hidup sampai aku menginjak usia mukallaf dan kafir, mengapa Engkau tidak memperhatikan kemaslahatanku ?.
Sampai disitu al-jubbai tidak dapat menjawat serbuan pertanyaan yang di lemparkan oleh al-asy’ari. Dialog ini menurut imam as-sabki berakhit dengan ketidak puasan al-asy’ari terhadap pemikiran mu’tazilah.
2. Terjadinya ujian keyakinan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan atas dukungan elite mu’tazilah, terutama pada masa khalifah Al-Makmun (198-218 H), Al-Mu’tashim (218-228) dan Al-Watsiq (228-233). Yang melakukan pemaksaan kaum mu’tazilah terhadap umat islam terutama tokoh-tokoh dan ulama terpengaruh. Banyak tokoh ulama yang menjadi panutan kaum ASWAJA atau Sunni menjadi korban gerakan uji keyakinan tersebut, mulai dari penyiksaan fisik, pemenjaraan bahkan sampai hukuman mati. Salah satu tokoh besar yang menjadi korban adalah imam ibnu hambal. Yang menjadi topik terjadinya tragedi semacam itu adalah tentang “Al-Qur’an sebagai mahluk bukan kalamullah yang qodim”. Sikap para penguasa pemerintahan Abbasiyyah tersebut dipandang oleh mayoritas umat islam, sebagai “cacat politis, teologis dan cacat moral”.
3. Dalam pengasingan al-asy’ari selama lima belas hari melakukan refleksi (perenungan) dan istikharah. Konon, beliau mendapat sebuah isyarat, beliau bermimpi bertemu nabi muhammad s.a.w. dan memerintahkannya untuk meninggalkan faham mu’tazilah dan membela As-Sunnah. Sesudah itu beliau keluar dari khalwahnya dan pergi menuju masjid, naik mimbar dan mengatakan kepada umat yang berada di masjid itu, bahwa ia telah mengasingkan diri untuk berfikir dalamm tentang berbagai macam faham tentang teologi dengan dalil dan metodologi masing-masing. Akhirnya beliau mengatakan : “keyakinan-keyakinanku yang lama, saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini”, sambil melemparkan jubahnya dan melemparkannya.
Mungkin hanya itu alasan yang dapat diuraikan, lebih jelasnya lihat di buku AHLUSSUNNAH WAL-JAMAAH DALAM PERSPSI DAN TRADISI NU. Semoga suguhan ini bisa memberikan manfaat kepada setiap pembaca. Amiiiiiiiiiin ...!!!