Waktu nabi Muhammad s.a.w wafat, dasar-dasar syariah yang fundamental (pokok) serta umum sifatnya telah diletakkan secara lengkap dan memadai, sehingga para sahabat beliau melakukan upaya penerapan terhadap hukum-hukum syariah atau mengembangkan cabang-cabangnya dari ketetapan umum tersebut. Dan apabila ditemukan kejanggalan diantara para sahabat atau mereka tidak mengetahui ketetapan hukumya mereka langsung memusyawarahkan dan mencari solusi atas permasalahan yang sedang mereka hadapi untuk menemukan kesepakatan diantara mereka. Diceritakan oleh maimun bin mahran: “bahwa Abu Bakar As-Siddiq r.a., apabila menghadapi masalah hukum maka dipelajarinya kitabullah (Al-Quran), dan apabila disana sitemukan nash/dalil yang dapat di jadikan dasar, maka ia putuskan hukum ini dengan dalil tersebut. Tetapi jika tidak ditemukan nash/dalil baik didalam Al-Quran maupun hadist Rasulullah s.a.w. maka beliau bertanya kepada sahabat-sahabat lain :
“apakah kalian pernah mengetahui Rasulullah s.a.w. menetapkan hukum mengenai mesalah ini?”. Apabila diantara mereka ada yang memberikan persaksian, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah menetapkan masalah tersebut, dengan begini ... dan begitu ... , maka beliau mengikuti keputusan tersebut. Dan apabila tidak ada yang memberi kesaksian apa-apa, maka beliau mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat dan bermusyawaroh dengan mereka. Apabila mereka menemukan atau sudah mengambil kesepakatan, maka beliau memutuskan permasalah tersebut berdasarkan kesepakatan para tokoh-tokoh sahabat tersebut(Ijma’ As-Shahabah). Dan itu berkelanjutan pada kholifah Umar Bin Khottob r.a. setelah beliau menjadi pengganti Abu Bakar As-Siddiq r.a.
Pada saat islam sudah meluas, menembus lintas geografis, budaya, ras dan bangsa dari benua asia hingga eropa, terdapat banyak problem-problem yang dihadapi oleh umat islam dalam masalah pemerintahan, yang tidak hanya dalam masalah politik, ekonomi, sosial dsb, tetapi masalah hukum yang terkait dengan masalah agama (syari’ah) yang disebabkan letak geografis atau perbedaan daerah dan tradisi masyarkat setempat, sehingga fatwa-fatwa hukum sebelumnya yang pernah di terapkan tidak sesuai dengan realitas yang ada. Maka muncul ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat maupun para tabi’in yang disamping berdasarkan dalil al-quran, hadist, ijma’, qiyas, juga didasarkan dengan tradisi masyarakat (maslahah mursalah), didasarkan pada pilihan terbaik diantara kemungkinan yang ada (al-istihsan) dan lain-lain. Dari kondisi obyektif lingkungan yang beraneka ragam itu, tidak heran jika hasil ijtihad yang dilakukan berbeda-beda. Dari fenomena itulah lahir madzha-madzhab fiqih yang terus berkembang. Namun hasil ijtihad-ijtihad yang sudah dilakukan itu tidak terkodifikasi dengan baik sehingga generasi ulama selanjutnya kerepotan untuk mengkaji secara utuh dan lengkap, paling-paling hanya pada bagian tertentu yang sangat terbatas.
Kalau kita lihat pada masa Rasulullah s.a.w., memang sangat sedikit sekali terjadi perbedaan (khilaf) tentang hukum dilingkungan para sahabat, karena memang pada masa itu para sahabat masih langsung dibimbing oleh wahyu yang melalui Rasulullah s.a.w., bahkan rasulullah sendiri ketika menghadapi masalah yang tidak ditemukan ketetapan hukumnya dari wahyu, beliau juga melekukan ijtihad, dan apabila hasil dari ijtihad beliau itu masih kurang tepat, maka langsung dikoreksi oleh wahyu. Seperti kasus-kasus berikut :
1. Sikap Rasulullah s.a.w. yang memberikan maaf kepada para sahabat yang tidak mengikuti perang tabuk tanpa alasan yang jelas, dan beliau belum meneliti tentang alasan mereka itu. Maka setelah itu Rasulullah ditegur oleh Allah dengan melalui ayat dalam surah at-taubah ayat 43 :
Artinya : “mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi perang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar, dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang bohong?”.
2. Ketika Rusulullah s.a.w. mengambil keputusan untuk menerima uang tebusan dari tawanan-tawanan perang badar, maka sehari kemudian Rasulullah merima teguran dari Allah melalui wahyu, dalam surah al-anfal ayat 67-68 :
Artinya : “tiada patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu sekalian menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki ukhrawi. Dan Allah itu maha perkasa dan bijaksana. Kalu sekiranya kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu sekalian ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil ”.
Memang benar kalau perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah menjadi luas setelah rasulullah s.a.w. wafat, karena rujukan utama dalam menetapkan hukum telah berkhir dengan kewafatan beliau, yakni al-quran dan hadist, sedangkan para sahabat beliau meskipun rata-rata mereka itu mengerti sebagian banyak hukum-hukum syariah yang mereka peroleh dari kitabullah dan sunnah nabawiyyah, namun keluasan mereka tidak sama tingkatannya. Ditambah lagi perbedaan mereka dalam menafsirkan suatu nash/dalil, kemudian tempat tinggal mereka antara satu dangan yang lainnya berjauhan, dengan lingkungan sosial dan budaya yang berbeda. Hal ini terjadi akibat perluasan geo politik islam, sebagian besar berada di jazirah arab, sebagian lagi diwilayah persia, yang lainnya lagi di wilayah masir atau syam (mencakup wilayah syiria, yordania, palestina dan lebanon sekarang).
Sebagian besar tulisan ini dikutip dari salah satu buku karangan prof. Dr. KH. M. Tolhah hasan. Semoga suguhan artikel ini bisa memberikan sedikit pengetahuan kepada para pembaca. Amiiiiiiiiiiiiiiiin...!!!