“maha suci (Allah), yang telah memperjalankan hambanya (muhammad)pada malam hari dari masjidil haram ke masjidil-aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia maha mendengar, maha melihat. (QS. Al-isra’ : 1)
Isra dan mi’raj merupakan peristiwa besar dan luar biasa yang terjadi pada diri nabi muhammad s.a.w., sejak terjadinya peristiwa tersebut, kurang lebih 14 abad yang lalu isra’ dan mi’rak terkenal diseluruh dunia, baik dikalangan umat islam maupun di kalangan non islam. Yang dimaksud dengan Isra’ adalah perjalanan malam Nabi Muhammad dari Masjidil-Haram ke Masjidil-Aqsha atau yang sering di juga disebut dengan Baitul Maqdis (palestina), dalam waktu yang sangat singkat. Adapun mi’raj adalah naik kelangit dunia terus ke Sidratul-Muntaha, untuk mengetahui sebagian dari kebesarang Allah s.w.t. dan untuk menerima perintah sholat lima waktu.
Ada yang mengatakan bahwa perjalanan nabi muhammad yang hanya 2/3 malam itu hanya rohnya saja, tetapi ada juga yang mengatakan kedua-duanya, yakni roh dan jasadnya. Ulama yang berpendapat demikian mengemukakan alasan sebagai berikut : kata yang berarti “maha suci” pada permulaan ayat 1 surah al-isra’ terdapat makna kagum dan kekaguman itu hanya terjadi atas perkara-perkara besar. Jika isra’ dan mi’raj hanya terjadi dalam mimpi, pasti bukan perkara besar yang pantas di kagumi, karena mimpi merupakan perkara biasa yang dapat terjadi pada setiap makhluk di malam hari maupun di siang hari.
Jika isra’ dan mi’raj itu hanya mimpi, maka orang-orang quraisy tidak akan terburu-buru menyatakan muhammad pembohong, tidak mungkin orang yang sudah beriman kembali mirtad pada saat itu juga, Ummi Hani tidak akan melarang Nabi untuk menceritakan pengalaman isra’ mi’rajnya kepada orang lain. Kalimat yang berarti “hamba-Nya” pada ayat 1 surah Al-Isra’ tersbut di atas jelas menunjukan arti kesatuan roh dan jasad.
Dalam sebuah keterangan di jelaskan yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Urwah bahwa diwaktu pagi seusai mengalami peristiwa isra’ mi’raj di waktu malamnya Rasulullah s.a.w. menceritakan kisah isra’ mi’rajnya kepada orang-orang bangsa quraisy yang secara spontan di dustakan seraya mengolok-olok. Bahkan ada orang yang awlanya telah percaya kepada Rasulullah s.a.w., berbalik menjadi murtad. Dan beberapa orang di antara mereka datang kepada sayyidina abu bakar berkata dengan nad olok-olok, “kawanmu muhammad mengaku ia semalam di isra’kan ke baitul maqdis dari sana di naikkan kelangit dan tiba kembali ke mekkah sebelum subuh!”. Jika beliau bercerita demikian maka benarlah apa yang beliau ceritakan”. Jawab abu bakar. Mereka bertanya lagi kepada abu bakar. “adakah engkau mempercayainya dan membenarkan ceritanya itu?”. Abu bakar menjawab : “aku mempercayainya tentang hal-hal yang lebih jauh dari itu”. Maka, karena kepercayaannya yang tebal yang tidak tergoyahkan terhadap Rasulullah s.a.w. abu bakar mendapatkan julukan “As-Siddiq”. Seorang musyrik yang lain berkata kepada nabi muhammad setelah mendengar cerita isra’ mi’rajnya : “cobalah berdiri hai muhammad dan angkatlah salah satu kakimu ke atas”, dan setelah di lakukan oleh Rasulullah s.a.w.. berkata lagi si musyrik itu : ”cobalah angkat pula kakimu yang satunya”. Rasulullah kemudian menjawab : “bila kau angkat kedua kakiku tentu aku akan jatuh”. Berkata si musyrik : “jika engkau tidak terangkat dari bumi sejengkalpun, bagaimana engkau bisa terangkat sampai kelangit dan ke sidratul-muntaha?”. Keluarlah dari sini dan ajukanlah pertanyaanmu ini kepada ‘Ali, ia akan menjawabnya. “ujar Rasulullah. Keluarlah si musyrik dari rumah Rasulullah s.a.w., dan menemui sayidina ‘Ali dan menceritakan kepadanya percakapan yang terjadi antara dia dan Rasulullah. Sayyidina ‘Ali setelah mendengar cerita itu tanpa menguca sepatah katapun, segera menghunus pedangnya dan di penggallah leher si musyrik. Perbuatan sayyidina ‘Ali itu di cela dan tidak dibenarkan oleh beberapa sahabat, akan tetapi beliau merasa dan berpendapat bahwa perbuatannya itu adalah jawaban yang tepat bagi seorang yang keras kepala, ia berkata : “bahwa Rasulullah bukan tidak dapat menjawab pertanyaan orang itu, namun beliau mengetahui orang yang keras kepala itu tidak akan menerima keterangannya, karenanya beliau mengirim orang itu kepadaku untuk di bunuh.