Jurus Ampuh Menggapai Ma’rifah
Tidak sedikit orang berharap dekat dengan tuhannya, namun masih banyak orang tidak mengerti dengan tata aturan yang harus ia lakukan, sehingga apa yang di usahakan atau yang menjadi tujuan tidak terealisasi dengan baik bahkan sangat jauh dari harapan. Para sufi berusaha melakukan beberapa tahap perjalanan rohani (suluk), antara lain yang dipandang sangat mendasar adalah :
1. At-Taubah, Menurut al-qusyairi dan juga para imam-imam sufi, memandang at-taubah, sebagai tahap pertama langkah perjalanan, dan peringkat awal dari peringkat-peringkat orang yang sedang mencari kedekatan kepada tuhan. Oleh karenanya, Al-Ghozali memberikan tiga uraian penting yang perlu di pahami. Yang pertama, al-‘ilm (pengertian) yakni mengerti besarnya resiko yang timbul dari perbuatan dosa, yang menjadi penghalang terbukanya hubungan antara manusia dengan tuhan, dan menjadi hambatan semua akses kejalan kebenaran. Yang kedua, al-hal (suasana hati) yakni dengan pengetahuan tersebut akan mendorong timbulnya suasana yang tidak enak, yang menggelisahkan hati, dan apabila hal itu disadari karena perbuatan dirinya, maka ia akan menyesalinya. Yang ketiga, al-fi’l (perbuatan) yakni kemauan untuk mengambil langkah nyata, dalam perbuatan dan perilaku, dengan meninggalkan semua perbuatan penyimpangan yang pernah dilakukan.
2. Az-Zuhd, sikap dan sifat zuhud sudah dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya. Mereka menganggap kenikmatan duniawi ini sebagai sesuatu yang tidak penting atau terlalu kecil jika dibandingkan dengan kenikmatan akhirat. Allah s.w.t. berfirman dalam surah an-nisa’ ayat 77 : “kesenangan di dunia ini hanya sedikit/sebentar, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa”.
Meskipun kezuhudan itu selalu di tandai oleh sikap yang tidak tertarik dengan kenikmatan duniawi, namun bukan berarti setiap orang fakir atau miskin itu zahid, sebab banyak orang yang tidak memiliki harta dan sarana materi, tetapi hatinya sangat menginginkan terhadap harta dan kekayaan itu. Adalah sangat tepat penegasan Ali Bin Abi Thalib r.a. waktu ditanya tentang zuhud, beliau menjawab, bahwa zuhud itu terletak diantara kalimat dari ayat Al-Quran, yang artinya : “supaya kamu jangan merasa sedih terhadap apa yang lepas darimu, dan jangan terlalu gembira terhadap apa yang dibrikan kepadamu”. (Al-Hadid : 23). Imam junaid mengatakan : zuhud itu sikap yang menganggap kecil terhadap dunia dan menghilangkan pengaruhnya dari hati. Ajaran zuhud ini di samping didasarkan pada nash-nash al-quran atau sunnah nabi, juga diteladani dari sikap dan perilaku rasulullah beserta keluarganya, juga para sahabat-sahabatnya, para tabi’in dan ulama-ulama shalihin.
3. Al-Wara’, kata ini asalnya mempunyai arti “menahan diri” atau pengendalian diri. Namun dalam pengertian al-wara’ ini mempunyai pengertian yang panjang. Abu sufyan ad-darani mengatakan, bahwa wara’ itu ada tiga tingkatan. Yang pertama, wara’nya orang awam, menahan diri dari melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan, termasuk menjauhi semua barang yang syubhat. Yang kedua, wara’nya orang tertentu, menjauhkan dari segala sesuatu yang dapat mengganggu hatinya. Yang ketiga, wara’nya orang yang sangat khusuk, menjauhi hal yang selain allah. Doktrin al-wara’ ini sebenarnya juga bersumber dari ajaran Rasulullah s.a.w. seperti sabda beliau kepada abu hurairah r.a. yang artinya “jadilah kamu orang yang wara’ agar kamu menjadi orang yang paling tekun beribadah”. Dilingkungan para sufi ada keyakinan sekaligus ajaran bahwa melakukan sesuatu hal yang di perbolehkan tetapi berlebihan, akan berdampak negatif terhadap kejernihan hati dan ketajaman rohani.
4. At-Tawadhu’, berlaku spontan baik sesama manusia, apalagi dengan allah, sebab tawadhu merupakan penjabaran dari akhlak yang luhur yang menjadi indikasi kualitas agama seseorang. Abu sulaiman ad-darani mengatakan : “Orang yang masih suka menganggap dirinya itu bernilai tinggi, ia tidak akan mampu melakukan tawadhu’ dengan sebenarnya”.
5. Al-Muraqabah, dalam istilah tasawwuf, pengertian al-muraqabah ini adalah kesadaran yang intens bahwa allah selalu memantau dan mengawasi segala niat, sikap dan perilaku manusia dalam segala situasi, di semua tempat dan di setiap waktu. Para sufi menafsirkan bahwa kemampuan “melihat allah” dengan penglihatan mata batin dalam melakukan ibadah itu terjadi pada tingkat “al-musyahadah”, dan tiu dialami oleh mereka yang betul-betul mencapai derajat al-‘arifin.
6. Ad-Dzikr, banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan untuk dzikir seperti pada ayat 152 surah al-baqarah : “maka ingatlah kamu kepadaku, niscaya aku ingat pula kepadamu”. Diantara keistimewaan dzikir ini, ialah tidak adanya batasan waktu, bisa dilakukan setiap saat dan kesempatan, orang dianjurkan melakukan dzikir kepada Allah SWT baik itu wajib ataupun sunah. Akan tetapi, tidak semua orang yang berdzikir itu benar-benar ingat kepada Allah. Bagi mereka yang optimis dengan harapanya, maka dzikirnya didasarkan atas janji-janji Allah. Bagi mereka yang ketakutan, dzikirnya didasarkan atas ancaman-ancaman-Nya. Bagi mereka yang pasrah diri, dzikirnya didasarkan atas dasar jaminan-jaminan-Nya. Bagi mereka yang bermesra rohani dengan Allah dzikirnya didasarkan atas kasih sayang-Nya. Menurut Al-Qusyairi, dzikir itu merupakan modal dan kendaraan utama dalam pengembaraan di jalan tasawwuf. Orang tidak mungkin dapat sampai kepada allah kecuali dengan melakukan dzikir.
7. Al-Istiqomah, prinsip istiqomah menuntut perpaduan ketat antara menjalankan dan menjauhi kemaksiatan, yang hakikatnya hanya dapat dilakukan secara sempurna oleh para nabi dan para tokoh auliya’. Syekh abu ali ad-daqqaq mengatakan, bahwa istiqomah itu dimulai dari ”at-taqwim” (mendisiplinkan diri), kemudian “al-iqomah” (meluruskan hati), dan setelah itu baru “al-istiqomah” (mendekatkan hati nurani terus-menerus kepada Allah SWT).